About Free Tips

banner5656

Free Tips has many free blogger templates just for you. The collection has more than 20 templates and will be added regularly. You can choose template that suits your need and your taste. Feel free to download. You can go through this link to see the collection here.

Harry Potter Is Moving...

manajemen pendidikan

Kamis, 01 April 2010
Drs. MASWAN, MM
Drs. H.SUGIWANTO, MM


DIMENSI-DIMENSI
MANAJEMEN
PENDIDIKAN
Upaya Membangun Sekolah Unggulan


















Diterbitkan Oleh:
KARSA MANUNGGAL
Indonesia




DIMENSI-DIMENSI
MANAJEMEN
PENDIDIKAN
Upaya Membangun Sekolah Unggulan


Oleh:
Drs. MASWAN, MM
Drs. H. SUGIWANTO, MM



Desain Cover : Maswan
Tata letak/Lay out: Maswan

Copyright @ Maswan
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


Diterbitkan Oleh:
KARSA MANUNGGAL
Indonesia
Alamat; Jln Raya Bangsri-Jepara Km 09 Mlonggo Jepara Jateng 59452
Telp.081325702426, Fax (0291) 599411



Cetakan Pertama
Dicetak oleh Percetakan Ar Rahma Magelang
Dilarang mengutip, memperbanyak, menyiarkan atau mengedarkan
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin dari penerbit
PRAKATA

Permasalahan Pendidikan Nasional yang mengacu pada kualitas pendidikan, terutama pada mutu pendidikan saat ini belum tuntas untuk diselesaikan, faktor penyebabnya adalah bersumber dari banyak dimensi. Salah satu dimensi penyebab lemahnya kualitas pendidikan kita, adalah bersumber dari manajenen pendidikan yang belum dilakukan secara optimal.
Dimensi yang dapat diamati dan dicermati, bahwa lemahnya kualitas pendidikan yang bersumber dari tenaga kependidikan yang mendesain dan merencanakan konsep-konsep pendidikan. Kreatifitas berpikir bagi tenaga kependidikan rata-rata masih rendah dalam mendesain dan mengembangkan kurikulum, materi pembelajaran, teknik, metode, pendekatan dan pnggunaan sumber belajar serta pemanfaatan media masih sangat terbatas.
Dengan gambaran tersebut, seorang manajer jika mempunyai komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, maka dari segi kualitas pemikiran untk merancang bangun pendidikan nasional haruslah mencari pola-pola baru yang dapat mengantarkan bangsa, menjadi subjek dan objek belajar yang mempunyai daya kreatifitas tinggi. Hal ini dapat diwujudkan, apabila manajenen pendidikan dapat diaplikasikan dalam realitas penanganan pendidikan di lapangan, tertama di masing-masing kelembagaan persekolahan. Kepala sekolah dan guru harus kuga dibekali konsep-konsep manajemen dalam pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan di masing-masing sekolah dan kelas pada semua lini dan jenjang pendidikan.
Buku ini terwujud, sebagai kepedulian penulis untuk memberi sumbangsih pemikiran, agar para pengembang, perencana dan pengelola pendidikan, kepala sekolah, mahasiswa, guru-guru atau dosen mau dan mampu membaca secara cermat sebagai bekal dalam melaksanakan tugas sehari-harinya. Konsep dasar manajemen pendidikan yang dipahami oleh praktisi pendidikan, terutama kepala sekolah dan guru, hingga saat ini masih bermuara pada konsep konvensional yang berkutat pada putaran yang sama. Pemahaman yang keliru ini, harus dirubah. Seorang manajer pendidikan, termasuk kepala sekolah dan guru haruslah memahami, bahwa manajemen pendidikan adalah sebuah pemikiran pendidikan yang harus dilakukan dengan perubahan atau inovasi yang dapat memberi landasan motivasi dan pengembangan program pendidikan nasional
Buku yang berjudul manajemen pendidikan ini tersusun memberi petunjuk kepada para pemegang kebijakan dalam bidang pendidikan, kepala sekolah, guru dan calon guru, agar bagaimana dalam melaksanakan tugas sehri-harinya mampu mencari solusi berbagai hambatan yang dialami pada setiap kali melakukan tugas kependidikannya. Setidak-tidaknya dengan membaca buku ini, sebagai orang yang mempunyai kepedulian tentang nasib pendidikan pada masa yang akan datang , maka kita dituntut mampu merubah pola pikir lama, ke pola pikir baru dalam setiap langkah pengelolaan pendidikan
Secara jujur penulis mengakui, bahwa buku ini belum memberikan cerminan utuh untuk dapat digunakan sebagai pegangan dalam manajemen pendidikan. Namun setidak-tidaknya, dengan rumusan gagasan yang diambil dari beberapa rujukan referensi ini, akan dapat digunakan sebagai petunjuk dalam melakukan tugas sebagai pengelolaan pendidikan.. Penulis sadar betul, untuk menjadi manajer pendidikan yang profeional dan kreatif, diperlukan proses panjang dan bersemangat mencari sumber-sumber bacaan tertulis yang ada relevasinnya dengan tugas pokoknya sebagai pengembang pendidikan.
Buku ini tersusun dengan menyisakan keterbatasan. Masih sangat banyak untuk mengarah pada penyempunaan penyusunan buku ini. Untuk itu penulis membuka lebar-lebar kepada pembaca untuk dapat memberi sumbangan pemikiran, saran, dan kritik demi kelengkapan pembahasan buku ini. Sekecil apapun, karya buku ini, semoga bermanfaat bagi pembaca terutama bagi perencana pendidikan, kepala sekolah, calon guru (mahasiswa), guru dan dosesn untuk dapat digunakan sebagai pegangan dalam pelaksanaan tugas dalam mengajarnya. Guru adalah sebagai pengukir jiwa bangsa, maka harus mempunyai bekal ilmu pengetahuan yang luas, cerdas, kreatif dan tidak kalah pentingnya harus ada sandaran hati ikhlas dalam mengajar dan mendidik. Dan yang terakhir, ucapan terima kasih kepada penulis-penulis yang dimuat di internet baik berupa tesis, skripsi, makalah, dan artikel yang dapat penulis gunakan sebagai baham kajian, sumber referensi dan sekaligus sebagai bahan pembanding untuk penyusunan buku ini, semoga tulisan yang terangkai dari berbagai sumber ini memberi manfaat dan berkah bagi pembaca. Semoga, Amin...

Jepara, 30 Oktober 2009
Penulis













DAFTAR ISI
PRAKATA………………………………………………………………………………. 3
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….. 7
BAGIAN I
MANAJENEN PENDIDIKAN........................................................................................ 7
A. Konsep Dasar Manajemen………………………….....……………………………… 7
B. Landasan Teori yang Memunculkan Konsep Manajemen............................................. 9
C. Management Bay Objektif............................................................................................. 12
D. Mnajemen Pendidikan ................................................................................................... 13
BAGIAN II
PERENCANAAN, TUJUAN DAN PEMBUATAN KEPUTUSAN………………….. 16
A. Perencanaan …………………………………………………………………………... 16
B. Rumusan Tujuan………………………………………………………………………. 19
C. Pembuatan Keputusan ……………………………………………………………….... 20
BAGIAN III
FUNGSI MANAJEMEN PENDIDIKAN........................................................................ 20
A. Fungsi Manajemen............................................................................................... .......... 24
B. Hubungan antar Fungsi Manajemen............................................................................... 29
C. Penerapan Fungsi Manajemen....................................................................................... 30
D. Penerapan Fungsi Manajemen dalam Pendidikan.......................................................... 33
BAGIAN IV
PRINSIP-PRINSIP MANAJEMN PENDIDIKAN………………………………….... 37
A. Prinsip-prinsip Manajemen………………………………………………………….... 37
B. Penerapan prinsip Manajemen Pendidikan…………………………………………… 41
BAGIAN V
RUANG LINGKUP MANAJEMEN PENDIDIKAN................................................... 40
A. Manajemen Kurikulum................................................................................................... 43
B. Manajemen Kesiswaan................................................................................................... 44
C. Manajemen Personalia.................................................................................................... 44
D. Manajemen Keuangan.................................................................................................... 45
E. Manajemen Sarana dan Prasarana................................................................................... 45
BAGIAN VI
KEPEMIMPINAN DAN ORGANISASI PENDIDIKAN.............................................. 46
A. Definisi Kepemimpinan.................................................................................................. 46
B. Peran Pemimpin.............................................................................................................. 46
C. Tipologi Kepemimpinan................................................................................................. 46
D. Teori-teori kepemimpinan............................................................................................... 48
E. Perilaku Kepemimpinan yang efektif.............................................................................. 49
F. Pemimpin Dinamis sebagai Teladan................................................................................ 49
BAGIAN VII
PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM ORGANISASI PENDIDIKAN............... … 51
A. Definisi Kepala Sekolah.................................................................................................. 51
B. Peran Kepala Sekolah dalam Organisasi Pendidikan...................................................... 51
BAGIAN VIII
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB WAKIL DAN STAF SEKOLAH DALAM ORGANISASI KEPENDIDIKAN................................................................................... 63
A. Tugas dan Tanggung Jawab Wakil Kepala.................................................................... 63
B. Tugas dan Tanggung Jawab Guru.................................................................................. 65
C. Tugas dan Tanggung Jawab Wali Kelas ....................................................................... 66
D. Tugas dan Tanggung Jawab Guru Piket Harian ........................................................... 66
E. Tugas dan Tanggung Jawab Guru Piket Harian Tatalaksana........................................ 67
F. Tugas dan Tanggung Jawab Kapala Tata Usaha (TU).................................................. 67
BAGIAN IX
MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN............................................ 68
A. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS) ...................................................... 68
B. Manajenen Pendidikan Berbasis Masyarakat (MPBM).................................................. 76
C. Manajemen Pendidikan Berbasis Teknologi Informasi.................................................. 79
C. Manajemen Pendidikan Berdasar Konsep KTSP............................................................ 84
BAGIAN X
PROSPEK MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN........................ 93
A. Manajenen Peningkatan Mutu Sekolah......................................................................... 93
B. Manajemen Mutu Terpadu ............................................................................................. 95
D. Problematika Pendidikan Nasional ................................................................................ 96
E. Upaya Pemecahan Masalah pendidikan Nasional .......................................................... 97
BAGIAN XI
KUALITAS GURU YANG DIHARAPKAN, DALAM PENINGKATAN
MUTU PENDIDIKAN..................................................................................................... 102
A. Proses Pembelajran yang Membelenggu........................................................................ 102
B. Pembelajaran Demokratis............................................................................................... 104
C. Profesionalsme Guru ...................................................................................................... 106
Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 110

BAGIAN I
MANAJENEN PENDIDIKAN

A. Konsep Daar Manajemen
Secara ethimology, kata manajemen berasal dari bahasa Italia (1561) maneggiare yang berarti "mengendalikan," terutamanya "mengendalikan kuda" yang berasal dari bahasa latin manus yang berati "tangan". Kata ini lalu terpengaruh dari bahasa Perancis manège yang berarti "kepemilikan kuda" (yang berasal dari Bahasa Inggris yang berarti seni mengendalikan kuda), dimana istilah Inggris ini juga berasal dari bahasa Italia. Bahasa Prancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur.
Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal. Mary Parker Follet, misalnya, mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.
Seseorang yang bekerja melalui orang lain dengan mengoordinasikan kegiatan-kegiatan mereka guna mencapai sasaran organisasi disebut manajer.
Selanjutnya, di bawah ini akan disampaikan beberapa pengertian umum tentang manajemen yang disampaikan oleh beberapa ahli. Dari Kathryn . M. Bartol dan David C. Martin yang dikutip oleh A.M. Kadarman SJ dan Jusuf Udaya (1995) memberikan rumusan bahwa :
“Manajemen adalah proses untuk mencapai tujuan – tujuan organisasi dengan melakukan kegiatan dari empat fungsi utama yaitu merencanakan (planning), mengorganisasi (organizing), memimpin (leading), dan mengendalikan (controlling). Dengan demikian, manajemen adalah sebuah kegiatan yang berkesinambungan”.
Sedangkan dari Stoner sebagaimana dikutip oleh T. Hani Handoko (1995) mengemukakan bahwa:
“Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan”.
Berdasarkan dari proses sejarah terjadi kesulitan yang terjadi dalam melacak pengertian manajemen. Namun diketahui bahwa ilmu manajemen telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya piramida di Mesir. Piramida tersebut dibangun oleh lebih dari 100.000 orang selama 20 tahun. Piramida Giza tak akan berhasil dibangun jika tidak ada seseorang—tanpa mempedulikan apa sebutan untuk manajer ketika itu—yang merencanakan apa yang harus dilakukan, mengorganisir manusia serta bahan bakunya, memimpin dan mengarahkan para pekerja, dan menegakkan pengendalian tertentu guna menjamin bahwa segala sesuatunya dikerjakan sesuai rencana.
Pembangunan piramida tersebut tidak mungkin terlaksana tanpa adanya seseorang yang merencanakan, mengorganisasikan dan menggerakan para pekerja, dan mengontrol pembangunannya.
Aplikasi manajemen lainnya dapat disaksikan selama tahun 1400-an di kota Venesia, Italia, yang ketika itu menjadi pusat perekonomian dan perdagangan di sana. Penduduk Venesia mengembangkan bentuk awal perusahaan bisnis dan melakukan banyak kegiatan yang lazim terjadi di organisasi modern saat ini. Sebagai contoh, di gudang senjata Venesia, kapal perang diluncurkan sepanjang kanal dan pada tiap-tiap perhentian, bahan baku dan tali layar ditambahkan ke kapal tersebut. Hal ini mirip dengan model lini perakitan (assembly line) yang dikembangkan oleh Hanry Ford untuk merakit mobil-mobilnya. Selain lini perakitan tersebut, orang Venesia memiliki sistem penyimpanan dan pergudangan untuk memantau isinya, manajemen sumber daya manusia untuk mengelola angkatan kerja, dan sistem akuntansi untuk melacak pendapatan dan biaya.
Sebelum abad ke-20, terjadi dua peristiwa penting dalam ilmu manajemen. Peristiwa pertama terjadi pada tahun 1776, ketika Adam Smith menerbitkan sebuah doktrin ekonomi klasik, The Wealth of Nation. Dalam bukunya itu, ia mengemukakan keunggulan ekonomis yang akan diperoleh organisasi dari pembagian kerja (division of labor), yaitu perincian pekerjaan ke dalam tugas-tugas yang spesifik dan berulang. Dengan menggunakan industri pabrik peniti sebagai contoh, Smith mengatakan bahwa dengan sepuluh orang—masing-masing melakukan pekerjaan khusus—perusahaan peniti dapat menghasilkan kurang lebih 48.000 peniti dalam sehari. Akan tetapi, jika setiap orang bekerja sendiri menyelesaikan tiap-tiap bagian pekerjaan, sudah sangat hebat bila mereka mampu menghasilkan sepuluh peniti sehari. Smith menyimpulkan bahwa pembagian kerja dapat meningkatkan produktivitas dengan:
1. Meningkatnya keterampilan dan kecekatan tiap-tiap pekerja,
2. Menghemat waktu yang terbuang dalam pergantian tugas, dan
3. Menciptakan mesin dan penemuan lain yang dapat menghemat tenaga kerja.
Peristiwa penting kedua yang mempengaruhi perkembangan ilmu manajemen adalah Revolusi Industri di Inggris. Revolusi Industri menandai dimulainya penggunaan mesin, menggantikan tenaga manusia, yang berakibat pada pindahnya kegiatan produksi dari rumah-rumah menuju tempat khusus yang disebut pabrik. Perpindahan ini mengakibatkan manajer-manajer ketika itu membutuhkan teori yang dapat membantu mereka meramalkan permintaan, memastikan cukupnya persediaan bahan baku, memberikan tugas kepada bawahan, mengarahkan kegiatan sehari-hari, dan lain-lain, sehingga ilmu manajamen mulai dikembangkan oleh para ahli.
Pada awal abad ke-20, seorang industriawan Perancis bernama Henry Fayol mengajukan gagasan lima fungsi utama manajemen: merancang, mengorganisasi, memerintah, mengoordinasi, dan mengendalikan. Gagasan Fayol itu kemudian mulai digunakan sebagai kerangka kerja buku ajar ilmu manajemen pada pertengahan tahun 1950, dan terus berlangsung hingga sekarang.
Sumbangan penting lainnya datang dari ahli sosilogi Jerman Max Weber. Weber menggambarkan suatu tipe ideal organisasi yang disebut sebagai birokrasi—bentuk organisasi yang dicirikan oleh pembagian kerja, hierarki yang didefinisikan dengan jelas, peraturan dan ketetapan yang rinci, dan sejumlah hubungan yang impersonal. Namun, Weber menyadari bahwa bentuk "birokrasi yang ideal" itu tidak ada dalam realita. Dia menggambarkan tipe organisasi tersebut dengan maksud menjadikannya sebagai landasan untuk berteori tentang bagaimana pekerjaan dapat dilakukan dalam kelompok besar. Teorinya tersebut menjadi contoh desain struktural bagi banyak organisasi besar sekarang ini.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1940-an ketika Patrick Blackett melahirkan ilmu riset operasi, yang merupakan kombinasi dari teori statistika dengan teori mikroekonomi. Riset operasi, sering dikenal dengan "Sains Manajemen", mencoba pendekatan sains untuk menyelesaikan masalah dalam manajemen, khususnya di bidang logistik dan operasi. Pada tahun 1946, Peter F. Drucker—sering disebut sebagai Bapak Ilmu Manajemen—menerbitkan salah satu buku paling awal tentang manajemen terapan: "Konsep Korporasi" (Concept of the Corporation). Buku ini muncul atas ide Alfred Sloan (chairman dari General Motors) yang menugaskan penelitian tentang organisasi.
B. Landasan Teori yang Memunculkan Konsep Manajemen
1. Manajemen ilmiah
Manajemen ilmiah, atau dalam bahasa Inggris disebut scientific management, pertama kali dipopulerkan oleh Frederick Winslow Taylor dalam bukunya yang berjudul Principles of Scientific Management pada tahun 1911. Dalam bukunya itu, Taylor mendeskripsikan manajemen ilmiah adalah "penggunaan metode ilmiah untuk menentukan cara terbaik dalam menyelesaikan suatu pekerjaan." Beberapa penulis seperti Stephen Robbins menganggap tahun terbitnya buku ini sebagai tahun lahirya teori manajemen modern.
Ide tentang penggunaan metode ilmiah muncul ketika Taylor merasa kurang puas dengan ketidakefesienan pekerja di perusahaannya. Ketidakefesienan itu muncul karena mereka menggunakan berbagai macam teknik yang berbeda untuk pekerjaan yang sama—nyaris tak ada standar kerja di sana. Selain itu, para pekerja cenderung menganggap gampang pekerjaannya. Taylor berpendapat bahwa hasil dari para pekerja itu hanyalah sepertiga dari yang seharusnya. Taylor kemudian, selama 20 tahun, berusaha keras mengoreksi keadaan tersebut dengan menerapkan metode ilmiah untuk menemukan sebuah "teknik paling baik" dalam menyelesaikan tiap-tiap pekerjaan.
Berdasarkan pengalamannya itu, Taylor membuat sebuah pedoman yang jelas tentang cara meningkatkan efesiensi produksi.
Pedoman tersebut adalah:
a. Kembangkanlah suatu ilmu bagi tiap-tiap unsur pekerjaan seseorang, yang akan menggantikan metode lama yang bersifat untung-untungan.
b. Secara ilmiah, pilihlah dan kemudian latihlah, ajarilah, atau kembangkanlah pekerja tersebut.
c. Bekerja samalah secara sungguh-sungguh dengan para pekerja untuk menjamin bahwa semua pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu yang telah dikembangkan tadi.
d. Bagilah pekerjaan dan tanggung jawab secara hampir merata antara manajemen dan para pekerja. Manajemen mengambil alih semua pekerjaan yang lebih sesuai baginya daripada bagi para pekerja.
Pedoman ini mengubah drastis pola pikir manajemen ketika itu. Jika sebelumnya pekerja memilih sendiri pekerjaan mereka dan melatih diri semampu mereka, Taylor mengusulkan manajemenlah yang harus memilihkan pekerjaan dan melatihnya. Manajemen juga disarankan untuk mengambil alih pekerjaan yang tidak sesuai dengan pekerja, terutama bagian perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengontrolan. Hal ini berbeda dengan pemikiran sebelumnya di mana pekerjalah yang melakukan tugas tersebut.
Manajemen ilmiah kemudian dikembangkan lebih jauh oleh pasangan suami-istri Frank dan Lillian Gilbreth. Keduanya tertarik dengan ide Taylor setelah mendengarkan ceramahnya pada sebuah pertemuan profesional.
2. Administrasi umum
Teori administrasi umum atau, dalam bahasa Inggris, general theory of administration, adalah teori umum mengenai apa yang dilakukan oleh para manajer dan bagaimana cara membentuk praktik manajemen yang baik. Sumbangan penting untuk teori ini datang dari industrialis Perancis Henri Fayol dengan beberapa prinsip manajemen-nya dan sosiolog Jerman Max Weber dengan konsep birokrasi—bentuk organisasi yang dicirikan oleh pembagian kerja, hierarki yang didefinisikan dengan jelas, peraturan dan ketetapan rinci, dan sejumlah hubungan impersonal.
3. Pendekatan kuantitatif
Pendekatan kuantitatif adalah penggunaan sejumlah teknik kuantitatif (seperti statistik, model optimasi, model informasi, atau simulasi komputer) untuk membantu manajemen dalam mengambil keputusan. Sebagai contoh, pemrograman linear digunakan para manajer untuk membantu mengambil kebijakan pengalokasian sumber daya; analisis jalur krisis (Critical Path Analysis) dapat digunakan untuk membuat penjadwalan kerja yang lebih efesien; model kuantitas pesanan ekonomi (economic order quantity model) membantu manajer menentukan tingkat persediaan optimum; dan lain-lain.
Pengembangan kuantitatif muncul dari pengembangan solusi matematika dan statistik terhadap masalah militer selama Perang Dunia II. Setelah perang berakhir, teknik-teknik matematika dan statistika yang digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan militer itu diterapkan di sektor bisnis. Pelopornya adalah sekelompok perwira militer yang dijuluki "Whiz Kids." Para perwira yang bergabung dengan Ford Motor Company pada pertengahan 1940-an ini menggunakan metode statistik dan model kuantitatif untuk memperbaiki pengambilan keputusan di Ford. Dan belakangan ini digunakan dalam penanganan pendidikan.
4. Kajian Hawthorne
Kajian Hawthrone adalah serangkaian kajian yang dilakukan pada tahun 1920-an hingga 1930-an. Kajian ini awalnya bertujuan mempelajari pengaruh berbagai macam tingkat penerangan lampu terhadap produktivitas kerja. Kajian dilakukan di Western Electric Company Works di Cicero, Illenois.
Uji coba dilaksanakan dengan membagi karyawan ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Kelompok eksperimen dikenai berbagai macam intensitas penerangan sementara kelompok kontrol bekerja di bawah intensitas penerangan yang tetap. Para peneliti mengharapkan adanya perbedaan jika intensitas cahaya diubah. Namun, mereka mendapatkan hasil yang mengejutkan: baik tingkat cahaya itu dinaikan maupun diturunkan, output pekerja meningkat daripada biasanya. Para peneliti tidak dapat menjelaskan apa yang mereka saksikan, mereka hanya dapat menyimpulkan bahwa intensitas penerangan tidak berhubungan langsung dengan produktivitas kelompok dan "sesuatu yang lain pasti" telah menyebabkan hasil itu.
Pada tahun 1927, Profesor Elton Mayo dari Harvard beserta rekan-rekannya diundang untuk bergabung dalam kajian ini. Mereka kemudian melanjutkan penelitian tentang produktivitas kerja dengan cara-cara yang lain, misalnya dengan mendesain ulang jabatan, mengubah lamanya jam kerja dan hari kerja alam seminggu, memperkenalkan periode istirahat, dan menyusun rancangan upah individu dan rancangan upah kelompok. Penelitian ini mengindikasikan bahwa ternyata insentif-insentif di atas lebih sedikit pengaruhnya terhadap output pekerja dibandingkan dengan tekanan kelompok, penerimaan kelompok, serta rasa aman yang menyertainya. Peneliti menyimpulkan bahwa norma-norma sosial atau standar kelompok merupakan penentu utama perilaku kerja individu.
Kalangan akademisi umumnya sepakat bahwa Kajian Hawthrone ini memberi dampak dramatis terhadap arah keyakinan manajemen terhadap peran perlikau manusia dalam organisasi.
Mayo menyimpulkan bahwa:
a. Perilaku dan sentimen memiliki kaitan yang sangat erat
b. Pengaruh kelompok sangat besar dampaknya pada perilaku individu
c. Standar kelompok menentukan hasil kerja masing-masing karyawan
d. Uang tidak begitu menjadi faktor penentu output bila dibandingkan dengan standar kelompok, sentimen kelompok, dan rasa aman.
Kesimpulan-kesimpulan itu berakibat pada penekanan baru terhadap faktor perilaku manusia sebagai penentu berfungsi atau tidaknya organisasi, dan pencapaian sasaran organisasi tersebut.
C. Management By Objective ( MBO )
Managemen By Objective pertama kali diperkenalkan oleh Peter Drucker dalam bukunya The Practice of Management pada tahun 1954. Management by objective dapat juga disebut sebagai manajemen berdasarkan sasaran, manajemen berdasarkan hasil (Management by Result), Goals management, Work planning and review dan lain sebagainya yang pada intinya sama.
Management by objective menekankan pada pentingnya peranan tujuan dalam perencanaan yang efektif, dengan menetapkan prosedur pencapaian baik yang formal maupun informal, pertama dengan menetapkan tujuan yang akan dicapai dilanjutkan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan sampai selesai baru diadakan peninjauan kembali atas pekerjaan yang telah dilakukan. Kegiatan MBO singkatan dari management by objective yaitu proses partisipasi yang melibatkan bawahan dan para manajer dalam setiap tingkatan organisasi yang dirumuskan dengan bentuk misi atau sasaran, yang dapat diukur di mana penggunaan ukuran ini sebagai pedoman bagi pengoperasian satuan kerja.
Konsep dasar management by objective yang sekarang dipakai di Indonesia, digunakan untuk perusahaan, lembaga pendidikan, organisasi baik social-keagamaan dan politik tampaknya sangat berpengaruh positif dan menghasilkan produktifitas yang optimal. Di dalam dunia pendidikan, MBO digunakan dalam rangka untuk mengacu pada pencapaian tujuan yang diinginkan. Tujuan akhir dari penanganan lembaga pendidikan, adalah pencapaian hasil output berupa peserta didik yang berkualitas. Untuk mengarah pada pencapaian hasil tersebut, lembaga pendidikan dibangun dan dikelolan dengan pendekatan system.
1. Sistem Management By Objective
Para pemimpin (leader/manajer) untuk pencapaian tujuan baik secara personal (pribadi) atau organisasi (lembaga-red), yang muara akhir mampu menghasilkan yang diinginkan, maka dia harus berhubungan dengan bawahannya untuk memberikan penetapan tujuan dan menilainya. Para pemimpin yang menggunakan system Manaagement by Objective bermaksud agar semua kegiatan yang dirancang, diorganisasikan dan dilakukan dapat hasil yang optimal. Sistem manajemen ini dipakai diharapkan, dapat lebih menekankan pada penetapan tujuan, dengan penetapan komitmen diantaranya adalah:
a. Penetapan tujuan manajemen puncak yang dinyatakan dalam nilai tertentu yang dapat diukur, sehingga antara pemimpin dan bawahan mempunyai gagasan yang jelas tentang apa yang diharapkan oleh manajemen puncak, sehingga dapat diketahui antara persolal (pekerja/staf) dengan tujuan organisasi secara keseluruhan dapat sesuai.
b. Tujuan perseorangan dan organisasi (perusahaan/lermbaga) ditetpkan dalam rumusan yang jelas, di mana antara pimpinan dan bawahan harus merumuskan tujuan bersama dan tanggung jawab terhadap bagiannya (pembagian tugas) secara jelas guna memahami tentang apa yang akan dicapai.
c. Pentingnya partisipasi semua pihak, di mana semakin besar partisipasi dari semua personal yang terlibat daam lembaga atau organisasi tersebut, maka semakin besar pencapaian tujuan yang diruuskan..
d. Kemandirian dalam menetukan langkah dalam arti adanya otonomi dan implementasi rencana dionsep dengan jelas, di sini pimpinan dan bawahan secara bebas untuk mengembangkan dan mengimplementasikan program-program pencapaian tujuannya.
e. Adanya penilaian atau peninjauan kembali hasil dari pekerjaan atau prestasi, hal ini dilakukan secara periodik terhadap kemajuan tujuan.
2. Kegunaan MBO
Penetapan MBO digunakan dalam sebuah lembaga atau organisasi, tertu saja mempunyai dampak (implikasi) yang menyertainya. Tentu saja, dalam hal ini ada kebaikan dan kelemahan yang dialaminya. Lepas dari persoalan yang menghambat, MBO diterapkan ada kegunaan yang dapat dijadikan sebagai pedoman, di antaranya adalah:
a. Mengetahui apa yang diharapkan dari organisasi atau lembaga.
b. Membantu pimpinan membuat tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Memperbaiki komunikasi vertikal antara pimpinan dengan bawahan
d. Membuat proses evaluasi:
(1). Kelemahan yang melekat pada proses MBO, dalam penetapan waktu dan biaya yang dikeluarkan..
(2). Dalam hal pengembangan dan implementasi program-program MBO.
3. Efektivitas MBO
a. Agar MBO sukses maka pimpinan harus memahami dan mempunyai ketrampilan dan mengetahui kemanfaatan serta kegunaan dari MBO.
b. Tujuan merupakan hal yang realistis dan mudah dipahami oleh siapapun juga, sehingga tujuan ini sering digunakan untuk mengevaluasi prestasi kerja dari manajer, apakah dia berhasil dalam tugasnya atau gagal.
c. Top leader (pimpinan) harus menjaga sistem MBO ini tetap hidup dan berfungsi sebagaimana mestinya.
d. Tanpa partisipasi semua pihak tidaklah mungkin program MBO ini berjalan, maka semua pihak harus mengetahui posisinya dalam hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai, umpan balik terhadapnya sangat berguna.

D. Manajemen Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, memang masih ditemukan perbedaan pemahaman dalam penggunaan istilah manajemen. Di satu pihak ada yang tetap cenderung menggunakan istilah manajemen, sehingga dikenal dengan istilah manajemen pendidikan. Di lain pihak, tidak sedikit pula yang menggunakan istilah administrasi sehingga dikenal istilah administrasi pendidikan. Dalam kontek masalah ini, kita cenderung untuk mengidentikkan keduanya, sehingga kedua istilah ini dapat digunakan dengan makna yang sama.
Menurut Djam’an Satori (1980) memberikan pengertian manajemen pendidikan dengan menggunakan istilah administrasi pendidikan yang diartikan sebagai “keseluruhan proses kerjasama dengan memanfaatkan semua sumber personil dan materil yang tersedia dan sesuai untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien”.
Sementara itu, Hadari Nawawi (1992) mengemukakan bahwa “administrasi pendidikan sebagai rangkaian kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sejumlah orang untuk mencapai tujuan pendidikan secara sistematis yang diselenggarakan di lingkungan tertentu terutama berupa lembaga pendidikan formal”.
Meski ditemukan pengertian manajemen atau administrasi yang beragam, baik yang bersifat umum maupun khusus tentang kependidikan, namun secara esensial dapat ditarik benang merah tentang pengertian manajemen pendidikan, bahwa :
1. Manajemen pendidikan merupakan suatu kegiatan;
2. Manajemen pendidikan memanfaatkan berbagai sumber daya; dan
3. Manajemen pendidikan berupaya untuk mencapai tujuan tertentu.
Berbicara tentang kegiatan pendidikan, di bawah ini beberapa pandangan dari para ahli tentang bidang-bidang kegiatan yang menjadi wilayah garapan manajemen pendidikan.
Ngalim Purwanto (1986) mengelompokkannya ke dalam tiga bidang garapan yaitu :
1. Administrasi material, yaitu kegiatan yang menyangkut bidang-bidang materi/ benda-benda, seperti ketatausahaan sekolah, administrasi keuangan, gedung dan alat-alat perlengkapan sekolah dan lain-lain.
2. Administrasi personal, mencakup di dalamnya administrasi personal guru dan pegawai sekolah, juga administrasi murid. Dalam hal ini masalah kepemimpinan dan supervisi atau kepengawasan memegang peranan yang sangat penting.
3. Administrasi kurikulum, seperti tugas mengajar guru-guru, penyusunan sylabus atau rencana pengajaran tahunan, persiapan harian dan mingguan dan sebagainya.
Hal serupa dikemukakan pula oleh M. Rifa’i (1980) bahwa bidang-bidang administrasi pendidikan terdiri dari :
1. Bidang kependidikan atau bidang edukatif, yang menyangkut kurikulum, metode dan cara mengajar, evaluasi dan sebagainya.
2. Bidang personil, yang mencakup unsur-unsur manusia yang belajar, yang mengajar, dan personil lain yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar.
3. Bidang alat dan keuangan, sebagai alat-alat pembantu untuk melancarkan siatuasi belajar mengajar dan untuk mencapai tujuan pendidikan sebaik-baiknya.
Sementara itu, Thomas J. Sergiovani sebagimana dikutip oleh Uhar Suharsaputra (2002) mengemukakan delapan bidang administrasi pendidikan, mencakup :
1. Instruction and curriculum development;
2. Pupil personnel;
3. Community school leadership;
4. Staff personnel;
5. School plant;
6. School trasportation;
7. Organization and structure dan
8. School finance and business management.
Di lain pihak, Direktorat Pendidikan Menengah Umum Depdiknas (1999) telah menerbitkan buku Panduan Manajemen Sekolah, yang didalamnya mengetengahkan bidang-bidang kegiatan manajemen pendidikan, meliputi:
1. Manajemen kurikulum;
2. Manajemen personalia;
3. Manajemen kesiswaan;
4. Manajemen keuangan;
5. Manajemen perawatan preventif sarana dan prasarana sekolah.
Dari beberapa pendapat di atas, agaknya yang perlu digarisbawahi yaitu mengenai bidang administrasi pendidikan yang dikemukakan oleh Thomas J. Sergiovani. Dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, pandangan Thomas J. Sergiovani kiranya belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, terutama dalam bidang school transportation dan business management. Dengan alasan tertentu, kebijakan umum pendidikan nasional belum dapat menjangkau ke arah itu. Kendati demikian, dalam kerangka peningkatkan mutu pendidikan, ke depannya pemikiran ini sangat menarik untuk diterapkan menjadi kebijakan pendidikan di Indonesia.



BAGIAN II
PERENCANAAN, TUJUAN DAN PEMBUATAN KEPUTUSAN
DALAM KAJIAN MANAJEMEN
A. Perencanaan
Perencanaan diperlukan dan terjadi dalam berbagai bentuk organisasi, sebab perencanaan ini merupakan proses dasar manajemen di dalam mengambil suatu keputusan dan tinsdakan. Perencanaan diperlukan dalam setiap jenis kegiatan baik itu kegiatan organisasi, perusahaan maupun kegiatan dimasyarakat, dan perencanaan ada dalam setiap fungsi-fungsi manajemen, karena fungsi-fungsi tersebut hanya dapat melaksanakan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dalam perencanaan.
Menurut Newman perencanaan (planning) is deciding in advance what is to be done. Sedangkan menurut A.Allen planning is the determination of a course of action to achieve a desired result. Pada dasarnya yang dimaksud dengan perencanaan yaitu memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan apa (what) siapa (Who) kapan (When) di mana (Where) mengapa (why) dan bagaimana (How), jadi perencanaan yaitu fungsi seorang manajer yang berhubungan dengan pemilihan dari sekumpulan kegiatan-kegiatan dan pemutusan tujuan-tujuan, kebijaksanaan-kebijaksanaan serta program-program yang dilakukan.
1. Unsur-unsur Perencanaan
Perencanaan yang baik harus dapat menjawab enam pertanyaan yang disebut sebagai unsur-unsur perencanaan 5 W + 1 H yaitu :
a. Apa yang harus dikerjakan
b. Siapa yang akan melakukan pekerjaan
c. Kapan pekerjaan tersebut dilakukan
d. Di mana pekerjaan tersebut dilakukan
e. Mengapa pekerjaan tersebut harus dilakukan
f. Bagaimana cara melaksanakan pekerjaan tersebut.
2. Perencanaan Yang Baik
Perencanaan dianggap baik manakala memuat nenerapa sifat sebagai berikut :
a. Lugas atau sederhana.
Perencanaan yang disusun dan disampaikan dengan kalimat pernyataan yang lugas, sederhana dan mudah dipahami oleh orang yang membaca, sehingga tidak menimbukan salah tafsir.
b. Luwes atau Fleksibel
Perencanaan yang disususn dengan mmperhtikan dan menyesuaikan dengan keadaan yang sesuai dengan kenyataan sebenarnya di alami. Sifatnya tidak kaku, sewaktu-waktu terjadi perubahan sistuasi dan kondisi, jika menghendaki untuk dirubah karena keadaan, maka harus dapat disesuaikan dengan keadaan yang muncul saat itu.
c. Stabil atau konstan.
Perencanaan yang sudah ditetapkan sebelum mengalami kendala jika dilakukan, tidak perlu untuk dirubah-rubah, tidak perlu setiap kali rencana mengalami perubahan. Perencanaan diupayan dapat dijaga stabilitasnya.
d. Seimbang.
Perencanaan harus seimbang artinya bahwa pemberian waktu dan factor-faktor produksi kepada siapa tujuan organisasi seimbang dengan kebutuhan.
e. Lengkap atau meyeluruh. Perencanaan yang disusun menyangkut seluruh bidang pekerjan yang dibutuhkan, jadi meliputi fungsi-fungsi yang ada dalam organisasi.
3. Proses Pembuatan Rencana
a. Menetapkan tugas dan tujuan
Antara tugas dan tujuan tidak dapat dipisahkan, suatu rencana tidak dapat difrmulir tanpa ditetapkan terlebih dahulu apa yang menjadi tugas dan tujuannya. Tugas diartikan sebagai apa yang harus dilakukan, sedang tujuan yaitu suatu atau nilai yang akan diperoleh.
b. Observasi dan analisa
Menentukan factor-faktor apa yang dapat mempermudah dalam pencapaian tujuan (Observasi) bila sudah diketahui dan terkumpul, maka dilakukan analisa terhadapnya untuk ditentukan mana yang digunakan.
c. Mengadakan kemungkinan-kemungkinan
Faktor yang tersedia memberikan perencanaan membuat beberapa kemungkinan dalam pencapaian tujuan. Dimana kemungkinan yang telah diperoleh dapat diurut atas dasar tertentu, misalnya lamanya penyelesian, besarbya biaya yang dibutuhkan efisiensi dan efektivitas dan lain sebagainya.
d. Membuat sintesa
Sintesa yaitu alternatif yang akan dipilih dari kemungkinan-kemungkinan yang ada dengan cara mengawinkan sitesa dari kemungkinan-kemungkinan tersebut. Kemungkinan-kemungkinan yang ada mempunyai kelemahan-kelemahan.
4. Pelaksana Pembuat Perencanaan
a. Panitia Perencanaan
Panitia ini terdiri dari beberapa unsure yang mewakili beberapa pihak, yang masing-masing membawakan misinya untuk menghasilkan suatu rencana, dengan harapan rencana yang dibuat akan lebih baik.
b. Bagian Perencanaan
Seringkali tugas perencanaan, merupakan tugas rutin dalam suatu organisasi atau perusahaan. Ini merupakan satu unit dalam suatu organisasi yang bertugas khusus membuat rencana. Jadi disini tidak ada unsur perwakilan yang mewakili suatu bagian dalam organisasi.
c. Tenaga Staf
Pada sebuah organisasi kependidikan atau perusahaan ada dua kelompok fungsional yaitu
1). Pelaksana, tidak disamakan dengan pimpinan yaitu kelompok yang langsung menangani pekerjaan, kalau dalam dunia pendidikan disebut guru atau karyawan tata usaha.
2). Staf (pemikir) yaitu kelompok yang tidak secara langsung menghasilkan barang atau produk perusahaan, tugasnya menganalisa fakta-fakta untuk kemudian merencanakan gagarasan, ide dalam pengembangan orhanisasi.

5. Bentuk-bentuk Perencanaan
a. Recana Global (Global Plan)
Analisa penyusunan recana global terdiri atas:
1). Strenght yaitu kekuatan yang dimiliki oleh organisasi yang bersangkutan
2). Weaknesses, memperhatikan kelemahan yang dimiliki organisasi yang bersangkutan.
3). Opportunity yaitu kesempatan terbuka yang dimiliki oleh organisasi
4). Treath yaitu tekanan dan hambatan yang dihadapi organisasi
b. Rencana Stategik (Strategic Plan)
Bagian dari rencana global yang lebih terperinci. Di mana dengan menyusun kerangka kerja yang akan dilakukan untuk mencapai rencana global, dimensi waktunya adalang jangka panjang. Dalam pencapaiannya dilakukan dengan system prioritas. Mana yang akan dicapai terlebih dahulu.
Ada beberapa alasan mengapa perencanaa strategic ini dilakukan, di antaranya adalah:
1). Memberikan kerangka dasar bagi perencanaan lainnya yang akan dilakukan
2). Mempermudah pemahaman bentuk-bentuk perencanaan lainnya.
3).Titik permulaan pemahaman dan penilaian kegiatan manajer dan organisasi
c. Rencana Operasional (Operational Plan)
Perencanaan operasional dalam sebuah kegiatan biasanya dilakukan dalam waktu jangka pendek dalan bentuk:
1). Rencana sekali pakai (single use plan) yaitu kegiatan yang tidak digunakan lagi setelah tercapainya tujuan dan ini sifatnya lebih terperinci hanya sekali pakai.
2). Rencana Tetap (Standing Plan) yaitu berupa perencanaan yang mengguanakan standar untuk penanganan kegiatan dalam situasi yang dapat ptrdeksi hasilnya terlebih dahulu dan akan terjadi berulang-ulang.

B. Rumusan Tujuan
1. Jenis-Jenis Tujuan
Dalam setiap kegiatan pasti ada rumusan tujuan yang jelas, karena tujuan merupakan arah apa yang ingin dicapai. Dalam penetapan tujuan ada dua unsur yang harus diperhatikan antara lain:
a. Hasil akhir yang ingin dicapai
b. Pencapaian tujuan kegiatan sesaat yang sebang atau baru dilakukan.
Dalam buku Manullang Davis membagi tujuan menjadi tiga jenis yaitu :
a. Tujuan primer berupa nilai ekonomis yang diberikan baik langsung ataupun tidak langsung kepada masyarakat dalam pembuatan barang dan jasa.
b. Tujuan kolatera nilai umum dalam pengertian luas demi kebaikan masyarakat
c. Tujuan Skunder, berkenaan dengan nilai ekonomis dan efektifitas dalam pencapaian tujuan diatas.
2. Bentuk-bentuk Tujuan yang Ditetapkan
Parrow membagi tujuan menjadi lima bentuk :
1. Sociental Goals, dibagi menjadi bagian-bagian karena organisasi sifatnya luas untuk memenuhi kebutuhan dari masyarakat.
2. Output Goals, menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh konsumen dalam bentuk konsumsi.
3. System Goals, pelaksanaan semua fungsi organisasi dilakukan dengan system yang biasa digunakan dalam organisasi tersebut.
4. Product Goals, berdasarkan pada produk yang dihasilkan oleh organisasi atau perusahaan.
5. Derived Goals, dihubungkan dan didasarkan pada tujuan-tujuan lainnya yang ada dalam organisasi,
3. Fungsi Penetapan Tujuan
Ditetapkan tujuan dijadikan suatu hal yang sangat penting, karena:
a. Sebagai dasar dan patokan bagi kegiatan-kegiatan yang ada dalam organisasi baik pengarahan, penyaluran usaha-usaha maupun kegiatan dari para anggota organisasi tersebut tanpa kecuali.
b. Sumber legitimasi dengan meningkatkan kemampuan kegiatan-kegiatan yang dilakukan guna mendapatkan sumber daya yang diperlukan dalam proses produksi dan mendapatkan dukungan dari lingkungan yang berada di sekitarnya.
c. Sebagai standar pelaksanaan dengan melaksanakan diri pada tujuan yang akan dicapai yang dibuat secara jelas dan dapat dipahami oleh anggota lainnya.
d. Sumber motivasi untuk mendorong anggota lainnya dalam melaksanakan tugasnya, misal dengan memberikan insentif bagi anggota yang melaksanakan tugasnya dengan baik, menghasilkan produk di atas standar dan lain sebagainya yang akhirnya dapat mendorong anggota lainnya.
e. Sebagai unsur rasional perusahaan, karena tujuan ini merupakan dasar perancangan dari organisasi.
4. Unsur-unsur dalam penetapan tujuan
Peter Drucker menetapkan delapan unsur yang harus ada dalam suatu organisasi di dalam menetapkan tujuan, yaitu :
a. Posisi pasar, berapa market share yang dapat dikuasai oleh perusahaan, hal ini dengan melihat berapa besar langganan dan produk yang dapat dikuasai, segmen pasar dan saluran distribusi yang digunakan.
b. Produktivitas, yaitu dengan menghitung antar input yang digunakan dengan output yang dicapai,
c. Sumberdaya pisik dan keuangan, dengan memperhatikan teknologi yang digunakan dan sumberdaya yang diperlukan dihubungkan dengan besarnya posisi keuangan yang dimiliki.
d. Profitabilitas, pencapaian tujuan yang dihitung dengan berapa rupiah yang diterima dengan melakukan riset and develop-ment, tersedianya kapital untuk renovasi teknologi dan kompensasi yang diterima.
e. Inovasi, yaitu pembaharuan-pembaharuan yang dilaksanakan dengan mengeluarkan produk baru, teknologi yang lebih canggih misalnya, yang didasarkan pada kebutuhan yang terus bertambah.
f. Prestasi dan pengembangan manajer, dengan memperhatikan pada kualitas manajemen untuk pengembangan para manajer.
g. Prestasi dan sikap karyawan, dengan menetapkan tujuan-tujuan yang menyangkut faktor-faktor karyawan dalam pencapaian efektifitas kerja.
h. Tanggung jawab solusi dan publik, guna menangani gejolak yang terjadi di perusahaan yang dilakukan oleh para karyawan berupa pemogokan ataupun unjuk rasa, hukum, pemerintah dan kelompok masyarakat lainnya.

C. Pembuatan Keputusan ( Decision Making )
1. Bentuk-bentuk Keputusan
Pembuatan keputusan yaitu proses serangkaian kegiatan yang akan dilakukan dalam penyelesaian suatu masalah. Pembuatan keputusan ini dilakukan oleh setiap jabatan dalam organisasi. Manajer akan membantu keputusan yang berbeda dalam situasi dan kondisi yang berbeda pula
Bentuk keputusan ini bisa berupa keputusan yang diprogram (Programmed decisions) atau tidak, bisa juga dibedakan antara keputusan yang dibuat di bawah kondisi kepastian, resiko dan ketidak pastian.
Bentuk-bentuk keputusan, adalah:
a. Keputusan terprogram yaitu keputusan yang dibuat menurut kebiasaan, aturan atau prosedur yang terjadi secara rutin dan berulang-ulang. Contoh : penetapan gaji pegawai, prosedur penerimaan pegawai baru, prosedur kenaikan jenjang kepegawaian dan sebagainya.
b. Keputusan tidak terprogram (non-programmed decisions), yaitu keputusan yang dibuat karena terjadinya masalah-masalah khusus atau tidak biasanya. Contoh : pengalokasian sumber daya-sumber daya organisasi, penjualan yang merosot tajam, pemakaian teknologi yang termodern, dan lain sebagainya.
Keputusan dengan kepastian, resiko dan ketidak-pastian, ini tergantung dari beberapa aspek yang tidak dapat diperkirakan dan dipastikan sebelumnya, seperti reaksi pesaing, perubahan perekonomian, perubahan teknologi, perilaku konsumen dan lain sebagainya. Oleh karena itu ini terbagi dalam tiga jenis situasi, yaitu :
a. Kepastian (certainty), yaitu dengan diketahuinya keaaan yang akan terjadi diwaktu mendatang, karena tersedianya informasi yang akurat dan responsibility.
b. Resiko (risk), yaitu dengan diketahuinya kesempatan atau probabilitas setiap kemungkinan yang akan terjadi serta hasilnya, tetapi informasi yang lengkap tidak dimiliki oleh organisasi atau perusahaan.
c. Ketidak pastian (uncertainty), dimana manajer tidak mengetahui probabilitas yang dimiliki serta tidak diketahuinya situasi yang akan terjadi diwaktu mendatang, karena tidak mempunyai informasi yang dibutuhkan. Umumnya ini menyangkut keputusan yang kritis dan paling menarik.
2. Proses Pembuatan Keputusan
Dalam pembuatan keputusan dilakukan dengan proses sebagai berikut:
a. Pemahaman dan Perumusan Masalah
Manajer harus dapat menemukan masalah apa yang sebenarnya, dan menentukan bagian-bagian mana yang harus dipecahkan dan bagian mana yang seharusnya dipecahkan.
b. Pengumpulan dan Analisa Data yang Relevan
Setelah masalahnya ditemukan, lalu ditentukan dan dibuatkan rumusannya untuk membuat keputusan yang tepat.
c. Pengembangan Alternatif
Pengembangan alternatif memungkinkan menolak kecenderungan membuat keputusan yang cepat agar tercapai keputusan yang efektif.
d. Pengevaluasian terhadap alternatif yang digunakan
Menilai efektivitas dari alternatif yang dipakai, yang diukur dengan menghubungkan tujuan dan sumber daya organisasi dengan alternatif yang realistic serta menilai seberapa baik alternatif yang diambil dapat membantu pemecahan masalah.
e. Pemilihan Alternatif Terbaik
Didasarkan pada informasi yang diberikan kepada manajer dan ketidak sempurnaan kebijaksanaan yang diambil oleh manajer.
f. Implementasi Keputusan
Manajer harus menetapkan anggaran, mengadakan dan mengalokasikan sumber daya yang diperlukan, serta memperhatikan resiko dan ketidak puasan terhadap keputusan yang diambil. Sehingga perlu dibuat prosedur laporan kemajuan periodic dan mempersiapkan tindakan korektif bila timbul masalah baru dalam keputusan yang dibuat serta mempersiapkan peringatan dini atas segala kemungkinan yang terjadi.
g. Evaluasi atas Hasil Keputusan
Implementasi yang telah diambil harus selalu dimonitor terus-menerus, apakah berjalan lancar dan memberikan
hasil yang diharapkan.
3. Teknik Dalam Pembuatan Keputusan
Operasi organisasi semakin komplek dan mahal, sehingga semakin sulit dan penting manajer dalam membuat rencana dan keputusan. Untuk itu diperlukan bantuan berbagai teknik dan peralatan kuantitatif. Teknik dan peralatan kuantitatif pembuatan keputusan dikenal dengan nama teknik management science dan operations research. Riset operasi menggambarkan, memahami, dan memperkirakan perilaku berbagai sistem yang komplek dalam kehidupan manusia. Tujuannya menyediakan informasi yang akurat.













BAGIAN III
FUNGSI MANAJEMEN PENDIDIKAN

Sebelum membicarakan fungsi manajenen pendidikan lebih khusus, dalam pembahasan ini, kita mencoba membahas fungsi manajemen pada umumnya. Fungsi manajemen adalah mengandung elemen dasar yang tetap ada dan melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh manajer dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan. Henry Fayol pada awal abad ke-20 yang pertama kali memperkenalkan fungsi manajemen yang sampai hari ini masih sangat actual untuk ditetapkan dalam sendi kehiadupan apa saja. Fayol saat mendesain fungsi manajemen dengan mengemukan langkah kegiatan yang secara berututan, yaitu mulai merancang, mengorganisir, memerintah, mengordinasi, dan mengendalikan. Konsep inilah akhirnya menjadi sebuah istilah fungsi manajemen, karena rancangan tersebut berfungsi membantu untuk memudahkan jalan berbuat dalam setiap kegiatan. Namun saat ini, kelima fungsi tersebut telah diringkas menjadi empat, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian.
Perencanaan adalah aktivitas seseorang sebelum berbuat yang dalam hal ini baru menggagas, mencetuskan ide dan memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan berpegangan pada data atau sumber yang ada disekitarnya. Perencanaan dibuat dan dilakukan dalam rangka untuk menentukan tujuan organisasi, kelembagaan atau perusahaan yang ditangani oleh seseorang atau kelompok orang dengan cara terbaik untuk mencapai tujuan bersama. Seorang pemimpin atau manajer, selain menentukan rancangan utama, juga menentukan berbagai rencana alternatif sebelum mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok atau tidak cocok digunakan untuk memenuhi tujuan organisasi, lembaga atau perusahaan. Perencanaan merupakan proses awal (pertama) dan ini dianggap paling penting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak dapat berjalan.
Pengorganisasian dilakukan dengan tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-bagi tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas apa yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas tersebut dikelompokkan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, pada tingkatan mana keputusan harus diambil.
Pengarahan atau directing adalah suatu tindakan untuk mengusahakan agar semua anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran sesuai dengan perencanaan manajerial dan usaha-usaha organisasi. Jadi actuating artinya adalah menggerakkan orang-orang agar mau bekerja dengan sendirinya atau penuh kesadaran secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara efektif. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kepemimpinan (leadership).
Pengevaluasian atau evaluating adalah proses pengawasan dan pengendalian performa perusahaan untuk memastikan bahwa jalannya perusahaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Seorang manajer dituntut untuk menemukan masalah yang ada dalam operasional perusahaan, kemudian memecahkannya sebelum masalah itu menjadi semakin besar.

A. Fungsi Manajenen
Dikemukakan di atas bahwa manajemen pendidikan merupakan suatu kegiatan. Kegiatan dimaksud tidak lain adalah tindakan-tindakan yang mengacu kepada fungsi-fungsi manajamen. Berkenaan dengan fungsi-fungsi manajemen ini, H. Siagian (1977) mengungkapkan pandangan dari beberapa ahli, sebagai berikut:
Menurut G.R. Terry terdapat empat fungsi manajemen, yaitu :
1. Planning (perencanaan),
2. Organizing (pengorganisasian);
3. Actuating (pelaksanaan);
4. Controlling (pengawasan).
Sedangkan menurut Henry Fayol terdapat lima fungsi manajemen, meliputi :
1. Planning (perencanaan);
2. Organizing (pengorganisasian);
3. Commanding (pengaturan)
4. Coordinating (pengkoordinasian)
5. Controlling (pengawasan).
Sementara itu, Harold Koontz dan Cyril O’ Donnel mengemukakan lima fungsi manajemen, mencakup :
1. Planning (perencanaan)
2. Organizing (pengorganisasian)
3. Staffing (penentuanstaf)
4. Directing (pengarahan)
5. Controlling (pengawasan).
Selanjutnya, L. Gullick mengemukakan tujuh fungsi manajemen, yaitu :
1. Planning (perencanaan);
2. Organizing (pengorganisasian);
3. Staffing (penentuanstaf);
4. Directing (pengarahan);
5. Coordinating (pengkoordinasian);
6. Reporting (pelaporan)
7. Budgeting (penganggaran).
Untuk memahami lebih jauh tentang fungsi-fungsi manajemen pendidikan, di bawah akan dipaparkan tentang fungsi-fungsi manajemen pendidikan dalam perspektif persekolahan, dengan merujuk kepada pemikiran G.R. Terry, meliputi :
1. Perencanaan (planning);
2. Pengorganisasian (organizing);
3. Pelaksanaan (actuating)
4. Pengawasan (controlling).
Jika fungsi-fungsi manajemen di atas diaplikasikan dalam manajemen pendidikan, maka dalam pengaturan pendidikan mengacu pada fungsi-fungsi manajemen secara umun tersebut.
1. Perencanaan (planning)
Perencanaan tidak lain merupakan kegiatan untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai beserta cara-cara untuk mencapai tujuan pendidikan. Sebagaimana disampaikan oleh Louise E. Boone dan David L. Kurtz (1984) bahwa: planning may be defined as the proses by which manager set objective, asses the future, and develop course of action designed to accomplish these objective.
Sedangkan T. Hani Handoko (1995) mengemukakan bahwa :
“Perencanaan (planning) adalah pemilihan atau penetapan tujuan organisasi dan penentuan strategi, kebijaksanaan, proyek, program, prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan Pendidikan. Pembuatan keputusan banyak terlibat dalam fungsi ini.”
Arti penting perencanaan terutama adalah memberikan kejelasan arah bagi setiap kegiatan, sehingga setiap kegiatan dapat diusahakan dan dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin. T. Hani Handoko mengemukakan sembilan manfaat perencanaan bahwa perencanaan:
a. Membantu manajemen untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan pendidikan;
b. Membantu dalam kristalisasi persesuaian pada masalah-masalah utama pendidikan;
c. Memungkinkan manajer memahami keseluruhan gambaran pendidikan;
d. Membantu penempatan tanggung jawab lebih tepat dalam menanganan pendidikan;
e. Memberikan cara pemberian perintah untuk beroperasi kependidikan;
f. Memudahkan dalam melakukan koordinasi di antara berbagai bagian organisasi krprndidikan
g Membuat tujuan lebih khusus, terperinci dan lebih mudah dipahami dalam pengelolaan pendidikan;
h Meminimumkan pekerjaan yang tidak pasti dalam penanganan pendidikan; dan
i. Menghemat waktu, usaha dan dana dalam pengelolaan pendidikan .
Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono (1996) mengemukakan langkah-langkah pokok dalam perencanaan, yaitu :
a. Penentuan tujuan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut :
(1) menggunakan kata-kata yang sederhana,
(2) mempunyai sifat fleksibel,
(3) mempunyai sifat stabilitas,
(4) ada dalam perimbangan sumber daya, dan
(5) meliputi semua tindakan yang diperlukan.
b. Pendefinisian gabungan situasi secara baik, yang meliputi unsur sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya modal.
c. Merumuskan kegiatan yang akan dilaksanakan secara jelas dan tegas.
Hal senada dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko (1995) bahwa terdapat empat tahap dalam perencanaan, yaitu :
a. Menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan;
b. Merumuskan keadaan saat ini;
c. Mengidentifikasi segala kemudahan dan hambatan;
d. Mengembangkan rencana atau serangkaian kegiatan untuk pencapaian tujuan.
Pada bagian lain, Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono (1996) mengemukakan bahwa atas dasar luasnya cakupan masalah serta jangkauan yang terkandung dalam suatu perencanaan, maka perencanaan dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu :
a. Rencana global yang merupakan penentuan tujuan secara menyeluruh dan jangka panjang,
b. Rencana strategis merupakan rencana yang disusun guna menentukan tujuan-tujuan kegiatan atau tugas yang mempunyai arti strategis dan mempunyai dimensi jangka panjang, dan
c. Rencana operasional yang merupakan rencana kegiatan-kegiatan yang berjangka pendek guna menopang pencapaian tujuan jangka panjang, baik dalam perencanaan global maupun perencanaan strategis.
Perencanaan strategik akhir-akhir ini menjadi sangat penting sejalan dengan perkembangan lingkungan yang sangat pesat dan sangat sulit diprediksikan, seperti perkembangan teknologi yang sangat pesat, pekerjaan manajerial yang semakin kompleks, dan percepatan perubahan lingkungan eksternal lainnya.
Pada bagian lain, T. Hani Handoko memaparkan secara ringkas tentang langkah-langkah dalam penyusunan perencanaan strategik, sebagai berikut:
a. Penentuan misi dan tujuan, yang mencakup pernyataan umum tentang misi, falsafah dan tujuan. Perumusan misi dan tujuan ini merupakan tanggung jawab kunci manajer puncak. Perumusan ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dibawakan manajer. Nilai-nilai ini dapat mencakup masalah-masalah sosial dan etika, atau masalah-masalah umum seperti macam produk atau jasa yang akan diproduksi atau cara pengoperasian perusahaan.
b. Pengembangan profil perusahaan, yang mencerminkan kondisi internal dan kemampuan perusahaan dan merupakan hasil analisis internal untuk mengidentifikasi tujuan dan strategi sekarang, serta memerinci kuantitas dan kualitas sumber daya -sumber daya perusahaan yang tersedia. Profil perusahaan menunjukkan kesuksesan perusahaan di masa lalu dan kemampuannya untuk mendukung pelaksanaan kegiatan sebagai implementasi strategi dalam pencapaian tujuan di masa yang akan datang.
c. Analisa lingkungan eksternal, dengan maksud untuk mengidentifikasi cara-cara dan dalam apa perubahan-perubahan lingkungan dapat mempengaruhi organisasi. Disamping itu, perusahaan perlu mengidentifikasi lingkungan lebih khusus, seperti para penyedia, pasar organisasi, para pesaing, pasar tenaga kerja dan lembaga-lembaga keuangan, di mana kekuatan-kekuatan ini akan mempengaruhi secara langsung operasi perusahaan.
Meski pendapat di atas lebih menggambarkan perencanaan strategik dalam konteks bisnis, namun secara esensial konsep perencanaan strategik ini dapat diterapkan pula dalam konteks pendidikan, khususnya pada tingkat persekolahan, karena memang pendidikan di Indonesia dewasa ini sedang menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal, sehingga membutuhkan perencanaan yang benar-benar dapat menjamin sustanabilitas pendidikan itu sendiri.
2. Pengorganisasian (organizing)
Fungsi manajemen berikutnya adalah pengorganisasian (organizing). George R. Terry (1986) mengemukakan bahwa :
“Pengorganisasian adalah tindakan mengusahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif antara orang-orang, sehingga mereka dapat bekerja sama secara efisien, dan memperoleh kepuasan pribadi dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu, dalam kondisi lingkungan tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu”.
Lousie E. Boone dan David L. Kurtz (1984) mengartikan pengorganisasian : “… as the act of planning and implementing organization structure. It is the process of arranging people and physical resources to carry out plans and acommplishment organizational obtective”.
Dari kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa pengorganisasian pada dasarnya merupakan upaya untuk melengkapi rencana-rencana yang telah dibuat dengan susunan organisasi pelaksananya. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengorganisasian adalah bahwa setiap kegiatan harus jelas siapa yang mengerjakan, kapan dikerjakan, dan apa targetnya.
Berkenaan dengan pengorganisasian ini, Hadari Nawawi (1992) mengemukakan beberapa asas dalam organisasi, diantaranya adalah :
a Organisasi harus profesional, yaitu dengan pembagian satuan kerja yang sesuai dengan kebutuhan;
b. Pengelompokan satuan kerja harus menggambarkan pembagian kerja;
c. Organisasi harus mengatur pelimpahan wewenang dan tanggung jawab;
d. Organisasi harus mencerminkan rentangan kontrol;
e. Organisasi harus mengandung kesatuan perintah; dan
f. Organisasi harus fleksibel dan seimbang
Ernest Dale seperti dikutip oleh T. Hani Handoko mengemukakan tiga langkah dalam proses pengorganisasian, yaitu :
a. Pemerincian seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi;
b. Pembagian beban pekerjaan total menjadi kegiatan-kegiatan yang logik dapat dilaksanakan oleh satu orang; dan
c. Pengadaan dan pengembangan suatu mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan para anggota menjadi kesatuan yang terpadu dan harmonis.
3. Pelaksanaan (actuating)
Dari seluruh rangkaian proses manajemen, pelaksanaan (actuating) merupakan fungsi manajemen yang paling utama. Dalam fungsi perencanaan dan pengorganisasian lebih banyak berhubungan dengan aspek-aspek abstrak proses manajemen, sedangkan fungsi actuating justru lebih menekankan pada kegiatan yang berhubungan langsung dengan orang-orang dalam organisasi
Dalam hal ini, George R. Terry (1986) mengemukakan bahwa actuating merupakan usaha menggerakkan anggota-anggota kelompok sedemikian rupa hingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran perusahaan dan sasaran anggota-anggota perusahaan tersebut oleh karena para anggota itu juga ingin mencapai sasaran-sasaran tersebut.
Dari pengertian di atas, pelaksanaan (actuating) tidak lain merupakan upaya untuk menjadikan perencanaan menjadi kenyataan, dengan melalui berbagai pengarahan dan pemotivasian agar setiap karyawan dapat melaksanakan kegiatan secara optimal sesuai dengan peran, tugas dan tanggung jawabnya.
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pelaksanan (actuating) ini adalah bahwa seorang karyawan akan termotivasi untuk mengerjakan sesuatu jika :
a. Merasa yakin akan mampu mengerjakan,
b. Merasa yakin bahwa pekerjaan tersebut memberikan manfaat bagi dirinya,
c. Merasa tidak sedang dibebani oleh problem pribadi atau tugas lain yang lebih penting, atau mendesak,
d. Merasa tugas tersebut merupakan kepercayaan bagi yang bersangkutan dan
e. Merasa ada hubungan antar teman dalam organisasi tersebut harmonis.
4. Pengawasan (controlling)
Pengawasan (controlling) merupakan fungsi manajemen yang tidak kalah pentingnya dalam suatu organisasi. Semua fungsi terdahulu, tidak akan efektif tanpa disertai fungsi pengawasan. Dalam hal ini, Louis E. Boone dan David L. Kurtz (1984) memberikan rumusan tentang pengawasan sebagai : “… the process by which manager determine wether actual operation are consistent with plans”.
Sementara itu, Robert J. Mocker sebagaimana disampaikan oleh T. Hani Handoko (1995) mengemukakan definisi pengawasan yang di dalamnya memuat unsur esensial proses pengawasan, bahwa :
“Pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan – tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan perusahaan.”
Dengan demikian, pengawasan merupakan suatu kegiatan yang berusaha untuk mengendalikan agar pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan memastikan apakah tujuan organisasi tercapai. Apabila terjadi penyimpangan di mana letak penyimpangan itu dan bagaimana pula tindakan yang diperlukan untuk mengatasinya.
Selanjutnya dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko bahwa proses pengawasan memiliki lima tahapan, yaitu :
a. Penetapan standar pelaksanaan;
b. Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan;
c. Pengukuran pelaksanaan kegiatan nyata;
d. Pembandingan pelaksanaan kegiatan dengan standar dan penganalisaan penyimpangan-penyimpangan; dan
e. Pengambilan tindakan koreksi, bila diperlukan.

B. Hubungan Fungsi Manajemen
Fungsi manajemen ini berjalan saling berinteraksi dan saling kait mengkait antara satu dengan lainnya, sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan proses manajemen. Dengan demikian, proses manajemen sebenarnya merupakan proses interaksi antara berbagai fungsi manajemen.
Dalam persektif persekolahan, agar tujuan pendidikan di sekolah dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka proses manajemen pendidikan memiliki peranan yang amat vital. Karena bagaimana pun sekolah merupakan suatu sistem yang didalamnya melibatkan berbagai komponen dan sejumlah kegiatan yang perlu dikelola secara baik dan tertib.
Menentukan fungsi manajemen yang paling penting adalah seperti berusaha untuk menentukan kaki yang mana yang paling penting pada sebuah kursi. Semua kakinya adalah penting dan harus ada agar kursi itu dapat berfungsi dengan baik. Tepat seperti dengan kursi itu, kalau salah satu dari fungsi-fungsi manajemen melemah, maka proses manajemen itu tidak berfungsi dengan baik. Jadi secara umum hubungan antar fungsi dalam manajemen adalah sangat erat, saling terkait antara satu dengan lainnya. Dalam bahasa lain, dapat diartikan sebagai suatu sistem, antara satu komponen dengan komponen lain saling terkait, tidak dapat dipisahkan. Satu ada yang rusak atau salah, maka secara keseluruhan akan ikut rusak.

C. Penerapan Fungsi Manajemen
Fungsi manajemen dapat diartikan sebagai kegiatan apa saja yang akan dilakukan oleh seorang pemimpin atau kepala dalam kegiatan manajerialnya. Sehingga kegiatan kepemimpinannya yang dilakukan oleh manajer tersebut dapat dikatakan sebagai kegiatan proses manajemen. Proses tersebut bermula dari pembuatan perencanaan sampai pada pengadaan pengawasan terhadap pelaksanaan rencana tersebut. Pengawasan yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui efektif atau tidaknya pelaksanaan rencanan sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Fungsi yang memberikan penilaian, koreksi dan evaluasi atas semua kegiatan. Secara terus- menerus melakukan monitoring atas pekerjaan yang sedang dilakukan. Fungsi ini bertujuan untuk menyesuaikan rencana yang telah dicapai dengan pelaksanaan kegiatan. Hasil dari evaluasi pengawasan ini dijadikan sebagai bahan rekomendasi untuk kegiatan berikutnya.
Untuk fungsi-fungsi manajemen tersebut agar berdaya dan berhasil guna, maka ada beberapa faktor –faktor yang ikut berperan dan menunjang dalam penerapan manajemen yaitu:
1. Peran Pimpinan (Manajer)
Henry Mintzberg, seorang ahli riset ilmu manajemen, mengemukakan bahwa ada sepuluh peran yang dimainkan oleh manajer di tempat kerjanya. Ia kemudian mengelompokan kesepuluh peran itu ke dalam tiga kelompok, yaitu peran antar pribadi, peran informasional, dan peran pengambilan keputusan. Peran antar pribadi adalah peran yang melibatkan orang dan kewajiban lain, yang bersifat seremonial dan simbolis. Tiga peran antar pribadi itu meliputi peran sebagai figur untuk anak buah, pemimpin, dan penghubung. Peran informasional meliputi peran manajer sebagai pemantau dan penyebar informasi, serta peran sebagai juru bicara. Peran ketiga yaitu peran pengambil keputusan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah peran sebagai seorang wirausahawan, pemecah masalah, pembagi sumber daya, dan perunding. Mintzberg kemudian menyimpulkan bahwa secara garis besar, aktivitas yang dilakukan oleh manajer adalah berinteraksi dengan orang lain.
2. Keterampilan Pimpinan (manajer)
Robert L. Katz pada tahun 1970-an mengemukakan bahwa setiap manajer membutuhkan minimal tiga keterampilan dasar. Keterampilan pertama adalah keterampilan konseptual (conceptional skill). Manajer tingkat atas (top manager) harus memiliki keterampilan untuk membuat konsep, ide, dan gagasan demi kemajuan organisasi. Gagasan atau ide serta konsep tersebut kemudian haruslah dijabarkan menjadi suatu rencana kegiatan untuk mewujudkan gagasan atau konsepnya itu. Proses penjabaran ide menjadi suatu rencana kerja yang kongkret itu biasanya disebut sebagai proses perencanaan atau planning. Oleh karena itu, keterampilan konsepsional juga meruipakan keterampilan untuk membuat rencana kerja. Selain kemampuan konsepsional, manajer juga perlu dilengkapi dengan keterampilan berkomunikasi atau keterampilan berhubungan dengan orang lain, yang disebut juga keterampilan kemanusiaan (humanity skill). Komunikasi yang persuasif harus selalu diciptakan oleh manajer terhadap bawahan yang dipimpinnya. Dengan komunikasi yang persuasif, bersahabat, dan kebapakan akan membuat karyawan merasa dihargai dan kemudian mereka akan bersikap terbuka kepada atasan. Keterampilan berkomunikasi diperlukan, baik pada tingkatan manajemen atas, menengah, maupun bawah. Keterampilan ketiga adalah keterampilan teknis yang pada umumnya merupakan bekal bagi manajer pada tingkat yang lebih rendah. Keterampilan teknis ini merupakan kemampuan untuk menjalankan suatu pekerjaan tertentu, misalnya menggunakan program komputer, memperbaiki mesin, membuat kursi, akuntansi dan lain-lain.
Selain tiga keterampilan dasar di atas, Ricky W. Griffin dalam bukunya Business 8th Edition menambahkan dua keterampilan dasar yang perlu dimiliki manajer, yaitu keterampilan manajemen waktu dan keterampilan membuat keputusan.
Kemampuan manajemen waktu merujuk pada kemampuan seorang manajer untuk menggunakan waktu yang dimilikinya secara bijaksana. Griffin mengajukan contoh kasus Lew Frankfort dari Coach. Pada tahun 2004, sebagai manajer, Frankfort digaji $2.000.000 per tahun. Jika diasumsikan bahwa ia bekerja selama 50 jam per minggu dengan waktu cuti 2 minggu, maka gaji Frankfort setiap jamnya adalah $800 per jam—sekitar $13 per menit. Dari sana dapat kita lihat bahwa setiap menit yang terbuang akan sangat merugikan perusahaan. Kebanyakan manajer, tentu saja, memiliki gaji yang jauh lebih kecil dari Frankfort. Namun demikian, waktu yang mereka miliki tetap merupakan aset berharga, dan menyianyiakannya berarti membuang-buang uang dan mengurangi produktivitas perusahaan.
Keterapilan kedua, yaitu keterampilan membuat keputusan, adalah kemampuan untuk mendefinisikan masalah dan menentukan cara terbaik dalam memecahkannya. Kemampuan membuat keputusan adalah yang paling utama bagi seorang manajer, terutama bagi kelompok manajer atas (top manager). Griffin mengajukan tiga langkah dalam pembuatan keputusan. Pertama, seorang manajer harus mendefinisikan masalah dan mencari berbagai alternatif yang dapat diambil untuk menyelesaikannya. Kedua, manajer harus mengevaluasi setiap alternatif yang ada dan memilih sebuah alternatif yang dianggap paling baik. Dan terakhir, manajer harus mengimplementasikan alternatif yang telah ia pilih serta mengawasi dan mengevaluasinya agar tetap berada di jalur yang benar. (Griffin:2006)

3. Sarana manajemen
Man dan machine, dua sarana manajemen.
Untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan diperlukan alat-alat sarana (tools). Tools merupakan syarat suatu usaha untuk mencapai hasil yang ditetapkan. Tools tersebut dikenal dengan 6M, yaitu men, money, materials, machines, method, dan markets.
Man merujuk pada sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi. Dalam manajemen, faktor manusia adalah yang paling menentukan. Manusia yang membuat tujuan dan manusia pula yang melakukan proses untuk mencapai tujuan. Tanpa ada manusia tidak ada proses kerja, sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk kerja. Oleh karena itu, manajemen timbul karena adanya orang-orang yang berkerja sama untuk mencapai tujuan.
Money atau Uang merupakan salah satu unsur yang tidak dapat diabaikan. Uang merupakan alat tukar dan alat pengukur nilai. Besar-kecilnya hasil kegiatan dapat diukur dari jumlah uang yang beredar dalam perusahaan. Oleh karena itu uang merupakan alat (tools) yang penting untuk mencapai tujuan karena segala sesuatu harus diperhitungkan secara rasional. Hal ini akan berhubungan dengan berapa uang yang harus disediakan untuk membiayai gaji tenaga kerja, alat-alat yang dibutuhkan dan harus dibeli serta berapa hasil yang akan dicapai dari suatu organisasi.
Material terdiri dari bahan setengah jadi (raw material) dan bahan jadi. Dalam dunia usaha untuk mencapai hasil yang lebih baik, selain manusia yang ahli dalam bidangnya juga harus dapat menggunakan bahan/materi-materi sebagai salah satu sarana. Sebab materi dan manusia tidaki dapat dipisahkan, tanpa materi tidak akan tercapai hasil yang dikehendaki.
Machine atau Mesin digunakan untuk memberi kemudahan atau menghasilkan keuntungan yang lebih besar serta menciptakan efesiensi kerja.
Metode adalah suatu tata cara kerja yang memperlancar jalannya pekerjaan manajer. Sebuah metode daat dinyatakan sebagai penetapan cara pelaksanaan kerja suatu tugas dengan memberikan berbagai pertimbangan-pertimbangan kepada sasaran, fasilitas-fasilitas yang tersedia dan penggunaan waktu, serta uang dan kegiatan usaha. Perlu diingat meskipun metode baik, sedangkan orang yang melaksanakannya tidak mengerti atau tidak mempunyai pengalaman maka hasilnya tidak akan memuaskan. Dengan demikian, peranan utama dalam manajemen tetap manusianya sendiri.
Market atau pasar adalah tempat di mana organisasi menyebarluaskan (memasarkan) produknya. Memasarkan produk sudah barang tentu sangat penting sebab bila barang yang diproduksi tidak laku, maka proses produksi barang akan berhenti. Artinya, proses kerja tidak akan berlangsung. Oleh sebab itu, penguasaan pasar dalam arti menyebarkan hasil produksi merupakan faktor menentukan dalam perusahaan. Agar pasar dapat dikuasai maka kualitas dan harga barang harus sesuai dengan selera konsumen dan daya beli (kemampuan) konsumen.
4. Prinsip manajemen
Prinsip-prinsip dalam manajemen bersifat lentur dalam arti bahwa perlu di pertimbangkan sesuai dengan kondisi-kondisi khusus dan situasi-situasi yang berubah. Menurut Henry Fayol, seorang pencetus teori manajemen yang berasal dari Perancis, prinsip-prinsip umum manajemen (seperti yang dibahas pada bagian IV di bawah).
5. Etika manajerial
Etika manajerial adalah standar prilaku yang memandu manajer dalam pekerjaan mereka.
Ada tiga kategori klasifikasi menurut Ricky W. Griffin dalam bukunya yang berjudul Business
a. Perilaku terhadap karyawan
b. Perilaku terhadap organisasi
c. Perilaku terhadap agen ekonomi lainnya

D. Penerapan Fungsi Manajemen dalam Pendidikan
Pendidikan di Indonesia menganut konsep pendidikan seumur hidup. Oleh sebab itu pendidikan menjadi tanggungjawab pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Agar tujuan pendidikan nasional dapat terwujud, maka pendidikan itu sendiri membutuhkan pengelolaan secara baik. Pengelolaan pendidikan baik oleh pemerintah dan swasta untuk jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah pada setiap jenis dan jenjang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Satuan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah diselenggarakan oleh Mendikbud atau menteri lain, sedang satuan pendidikan yag didirikan oleh masyarakat diselenggarakan oleh yayasan atau badan yang bersifat sosial.
Kepala sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, rektor pada tingkat uninversitas /institut, ketua pada tingkat akademi/sekolah bertanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana.
Dalam kontek manajemen pendidikan, agar pimpinan atau kepala sekolah dan kinerja guru dalam aplikasinya di lembaga persekolahan agar dapat mencapai standar tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance management). Di lembaga pendidikan selain praktisi pendidikan (perencana) pendidikan, maka ujung tombak yang mampu mengangkat keberhasilan pendidikan adalah para guru, termasuk di dalamnya adalah guru yang bertindak sebagai kepala sekolah (manajer pendidikan). Dengan mengacu pada penerapan fungsi manajemen di atas dan atas dasar pemikiran Robert Bacal (2001) dalam bukunya Performance Management, di bawah ini akan dibicarakan tentang manajemen kinerja guru.
Robert Bacal mengemukakan bahwa manajemen kinerja, sebagai :
“… sebuah proses komunikasi yang berkesinambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dan penyelia langsungnya. Proses ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Ini merupakan sebuah sistem. Artinya, ia memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus diikut sertakan, kalau sistem manajemen kinerja ini hendak memberikan nilai tambah bagi organisasi, manajer dan karyawan”.
Dari ungkapan di atas, maka manajemen pendidikan yang lebih terfokus bagaimana kinerja guru terutama berkaitan erat dengan tugas kepala sekolah sebagai pimpinan lembaga pendidikan tersebut untuk selalu melakukan komunikasi yang berkesinambungan, melalui jalinan kemitraan dengan seluruh guru di sekolahnya. Dalam mengembangkan manajemen kinerja guru, didalamnya harus dapat membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang fungsi-fungsi manajemen di atas dapat diaplukasikan dalam program kegiatan kependidikan. Kepala sekolah dan guru dalam tugasnya sebagai pemimpin pendidikan, dalam hal ini secara esensial yang diharapkan mampu melakukan proses manajerial secara utuh. Ukuran keterlibatan secara optimal seorang kepala sekolah dan guru dapat dilihat dari:
1. Seberapa besar kontribusi pekerjaan kepala sekolah dan guru bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.melakukan pekerjaan dengan baik”
2. Bagaimana guru dan kepala sekolah bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja guru yang sudah ada sekarang.
3. Bagaimana prestasi kerja akan diukur.
4. Mengenali berbagai hambatan kinerja dan berupaya menyingkirkannya.
Robert Bacal memberikan gambaran pula bahwa dalam manajemen pendidikan diantaranya meliputi perencanaan, komunikasi yang berkesinambungan dan evaluasi dari seluruh proses kegiatan yang dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan yang ideal.
Perencanaan merupakan suatu proses di mana guru dan kepala sekolah bekerja sama untk merencanakan apa yang harus dikerjakan guru pada tahun mendatang, menentukan bagaimana suatu program dapat diukur, mengenali dan merencanakan cara mengatasi masalah, serta mencapai pemahaman bersama tentang tugas dan tanggung jawab sebagai seorang pendidik.
Komunikasi yang berkesinambungan merupakan proses di mana kepala sekolah dan guru bekerja sama untuk saling berbagi informasi mengenai perkembangan kerja, hambatan dan permasalahan yang mungkin timbul, solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah, dan bagaimana kepala sekolah dapat membantu guru. Dalam konsep ini pimpinan dan guru dalam lembaga pendidikan mmpunyai kemampuan untuk mengidentifikasi dan menanggulangi kesulitan atau persoalan. .
Evaluasi dalam fungsi manajenen adalah salah satu bagian dari manajemen pendidikan , yang merupakan proses di mana kepala sekolah dan guru secara perseorangan dinilai dan dievaluasi. Ini dipakai untuk menjawab pertanyaan, “ Seberapa baikkah kinerja seorang kepala sekolah dan guru pada suatu periode tertentu ?”. Metode apapun yang dipergunakan untuk menilai kinerja lewat supervise pendidikan, penting sekali bagi system pendidikan persekolahan untuk menghindari dua perangkap.
Pertama, tidak mengasumsikan masalah kinerja terjadi secara terpisah satu sama lain, atau “selalu salahnya guru”.
Kedua, tiada satu pun taksiran yang dapat memberikan gambaran keseluruhan tentang apa yang terjadi dan mengapa. Penilaian kinerja hanyalah sebuah titik awal bagi diskusi serta diagnosis lebih lanjut.
Sementara itu, Karen Seeker dan Joe B. Wilson (2000) memberikan gambaran tentang proses manajemen kinerja dengan apa yang disebut dengan siklus manajemen kinerja, yang terdiri dari tiga fase yakni perencanaan, pembinaan, dan evaluasi.
Perencanaan merupakan fase pendefinisian dan pembahasan peran, tanggung jawab, dan ekpektasi yang terukur. Perencanaan tadi membawa pada fase pembinaan,– di mana guru dibimbing dan dikembangkan – mendorong atau mengarahkan upaya mereka melalui dukungan, umpan balik, dan penghargaan. Kemudian dalam fase evaluasi, kinerja guru dikaji dan dibandingkan dengan ekspektasi yang telah ditetapkan dalam rencana kinerja. Rencana terus dikembangkan, siklus terus berulang, dan guru, kepala sekolah, dan staf administrasi , serta organisasi terus belajar dan tumbuh.
Setiap fase didasarkan pada masukan dari fase sebelumnya dan menghasilkan keluaran, yang pada gilirannya, menjadi masukan fase berikutnya lagi. Semua dari ketiga fase Siklus Manajemen Kinerja sama pentingnya bagi mutu proses dan ketiganya harus diperlakukan secara berurut. Perencanaan harus dilakukan pertama kali, kemudian diikuti Pembinaan, dan akhirnya Evaluasi.
Dengan tidak bermaksud mengesampingkan arti penting perencanaan kinerja dan pembinaan atau komunikasi kinerja. Di bawah ini akan dipaparkan tentang evaluasi kinerja guru. Bahwa agar kinerja guru dapat ditingkatkan dan memberikan sumbangan yang siginifikan terhadap kinerja sekolah secara keseluruhan maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja guru.
Dalam hal ini, Ronald T.C. Boyd (2002) mengemukakan bahwa evaluasi kinerja guru didesain untuk melayani dua tujuan, yaitu :
1. Untuk mengukur kompetensi guru dan
2. Mendukung pengembangan profesional.
Sistem evaluasi kinerja guru hendaknya memberikan manfaat sebagai umpan balik untuk memenuhi berbagai kebutuhan di kelas (classroom needs), dan dapat memberikan peluang bagi pengembangan teknik-teknik baru dalam pengajaran, serta mendapatkan konseling dari kepala sekolah, pengawas pendidkan atau guru lainnya untuk membuat berbagai perubahan di dalam kelas.
Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang evaluator (baca: kepala sekolah atau pengawas sekolah) terlebih dahulu harus menyusun prosedur spesifik dan menetapkan standar evaluasi. Penetapan standar hendaknya dikaitkan dengan :
1. Keterampilan-keterampilan dalam mengajar;
2. Bersifat seobyektif mungkin;
3. Komunikasi secara jelas dengan guru sebelum penilaian dilaksanakan dan ditinjau ulang setelah selesai dievaluasi, dan
4. Dikaitkan dengan pengembangan profesional guru .
Para evaluator hendaknya mempertimbangkan aspek keragaman keterampilan pengajaran yang dimiliki guru. dan menggunakan berbagai sumber informasi tentang kinerja guru, sehingga dapat memberikan penilaian secara lebih akurat.
Beberapa prosedur evaluasi kinerja guru yang dapat digunakan oleh evaluator, diantaranya :
1. Mengobservasi kegiatan kelas (observe classroom activities). Ini merupakan bentuk umum untuk mengumpulkan data dalam menilai kinerja guru. Tujuan observasi kelas adalah untuk memperoleh gambaran secara representatif tentang kinerja guru di dalam kelas. Kendati demikian, untuk memperoleh tujuan ini, evaluator dalam menentukan hasil evaluasi tidak cukup dengan waktu yang relatif sedikit atau hanya satu kelas. Oleh karena itu observasi dapat dilaksanakan secara formal dan direncanakan atau secara informal dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sehingga dapat diperoleh informasi yang bernilai (valuable)
2. Meninjau kembali rencana pengajaran dan catatan – catatan dalam kelas. Rencana pengajaran dapat merefleksikan sejauh mana guru dapat memahami tujuan-tujuan pengajaran. Peninjauan catatan-cataan dalam kelas, seperti hasil test dan tugas-tugas merupakan indikator sejauhmana guru dapat mengkaitkan antara perencanaan pengajaran , proses pengajaran dan testing (evaluasi)
3. Memperluas jumlah orang-orang yang terlibat dalam evaluasi. Jika tujuan evaluasi untuk meningkatkan pertumbuhan kinerja guru maka kegiatan evaluasi sebaiknya dapat melibatkan berbagai pihak sebagai evaluator, seperti : siswa, rekan sejawat, dan tenaga administrasi. Bahkan self evaluation akan memberikan perspektif tentang kinerjanya. Namun jika untuk kepentingan pengujian kompetensi, pada umumnya yang bertindak sebagai evaluator adalah kepala sekolah dan pengawas.
Setiap hasil evaluasi seyogyanya dilaporkan. Konferensi pasca-observasi dapat memberikan umpan balik kepada guru tentang kekuatan dan kelemahannya. Dalam hal ini, beberapa hal yang harus diperhatikan oleh evaluator :
a. Penyampaian umpan balik dilakukan secara positif dan bijak;
b. Menyampaian gagasan dan mendorong untuk terjadinya perubahan pada guru;
c. Menjaga derajat formalitas sesuai dengan keperluan untuk mencapai tujuan-tujuan evaluasi;
d. Menjaga keseimbangan antara pujian dan kritik;
e. Memberikan umpan balik yang bermanfaat secara secukupnya dan tidak berlebihan.


BAGIAN IV
PRINSIP – PRINSIP MANAJEMEN PENDIDIKAN

A. Prinsip-prinsip Manajemen
Untuk menjamin keberhasilan sebuah usaha maka manajemen haruslah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip manajemen. Prinsip-prinsip manajemen adalah dasar-dasar dan nilai yang menjadi inti dari keberhasilan sebuah manajemen.
Menurut Henry Fayol. Prinsip-prinsip dalam manajemen sebaiknya bersifat lentur dalam arti bahwa perlu dipertimbangkan sesuai dengan kondisi khusus dan situasi yang berubah-rubah. Prinsip - prinsip umum manajemen menurut Henry Fayol terdiri dari:
1. Pembagian kerja (Division of work)
Dalam pembagian kerja perlu diperhatikan penempatan orang-orang yang sesuai dengan keahlian, pengalaman, kondisi fisik dan mental. Tujuan pembagian kerja adalah agar diperoleh hasil kerja yang terbaik. Pembagian kerja dapat membantu pemusatan tujuan dan merupakan alat terbaik untuk memanfaatkan individu-individu dan kelompok sesuai dengan bidang keahliannya. Oleh karena itu, dalam penempatan personil dalam organisasi atau karyawan dalam lembaga/perusahaan harus menggunakan prinsip the right man in the right place. Pembagian kerja harus rasional/objektif, bukan emosional subyektif yang didasarkan atas dasar like and dislike (senang dan tidak senang).
Dengan adanya prinsip orang yang tepat ditempat yang tepat (the right man in the right place) akan memberikan jaminan terhadap kestabilan, kelancaran dan efesiensi kerja. Pembagian kerja yang baik merupakan kunci bagi penyelengaraan kerja. kecerobohan dalam pembagian kerja akan berpengaruh kurang baik dan mungkin menimbulkan kegagalan dalam penyelenggaraan pekerjaan, oleh karena itu, seorang manajer yang berpengalaman akan menempatkan pembagian kerja sebagai prinsip utama yang akan menjadi titik tolak bagi prinsip-prinsip lainnya.
2. Pemberian Wewenang dan Tanggung Jawab (Authority and responsibility)
Setiap personil atau karyawan yang ditempatkan pada posisi prembagian tugasnya, harus dilengkapi dengan wewenang untuk melakukan pekerjaan dan setiap wewenang melekat atau diikuti pertanggungjawaban. Wewenang dan tanggung jawab harus seimbang. Setiap pekerjaan harus dapat memberikan pertanggungjawaban yang sesuai dengan wewenang. Oleh karena itu, makin kecil wewenang makin kecil pula pertanggungjawaban demikian pula sebaliknya.
Tanggung jawab terbesar terletak pada manajer puncak. Kegagalan suatu usaha bukan terletak pada karyawan, tetapi terletak pada puncak pimpinannya karena yang mempunyai wewemang terbesar adalah manajer puncak. oleh karena itu, apabila manajer puncak tidak mempunyai keahlian dan kepemimpinan, maka wewenang yang ada padanya merupakan bumerang.
Setiap orang yang telah diserahi tugas dalam bidang pekerjaan tertentu dengan sendirinya memiliki wewenang untuk membantu memperlancar tugas-tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Wewenang tersebut harus disertai tanggungjawab terhadap atasan atau terhadap tujuan yang hendak dicapai. Antara wewenang dan tangungjawab harus seimbang.
Wewenang adalah hak memberikan perintah dan kekuasaan meminta kepatuhan dari yang diperitah. Sedangkan Tangungjawab adalah tugas dan fungsi-fungsi atau kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang petugas.
3. Memiliki Disiplin (Discipline)
Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawab. Disiplin ini berhubungan erat dengan wewenang. Apabila wewenang tidak berjalan dengan semestinya, maka disiplin akan hilang. Oleh karena ini, pemegang wewenang harus dapat menanamkan disiplin terhadap dirinya sendiri sehingga mempunyai tanggung jawab terhadap pekerajaan sesuai dengan weweanng yangdipegangnya. Tertib atau disiplin akan meningkatkan kualitas kerja, dan peningkatan kualitas kerja akan pula menaikkan mutu hasil kerja. Dalam setiap organisasi, lembaga atau perusahaan akan berhasil seperti yang diinginkan, maka haruslah menciptakaan aturan atau tata tertib yang mapan, dan tata tertib tersebut haruslah dilakukan dengan penuh disiplin oleh seluruh kompoten yang ada dalam organisasi, lembaga atau perusahaan tersebut.
4. Adanya Kesatuan Komando atau perintah (Unity of command)
Dalam organisasi atau perusahaan, seorang pemimpin atau manajer harus memperikan perintah kepada bawahannya, harus jelas komando atau perintahnya. Jika dalam organisasi atau perusahaan mempunyai jenjang struktur, perintah dari pimpinan yang paling atas ke pimpinan di bawahnya harus satu bahasa dan satu kesatuan perintah. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi overlap atau tumpang tindih pemahaman yang diterima oleh bawahannya. Begitu juga dalam melakasanakan pekerjaan dari atasannya , personil atau karyawan harus memperhatikan prinsip kesatuan perintah sehingga pelaksanaan kerja dapat dijalankan dengan baik. Karyawan harus tahu kepada siapa ia harus bertanggung jawab sesui dengan wewenang yang diperolehnya. Perintah yang datang dari manajer lain kepada serorang karyawan akan merusak jalannya wewenang dan tanggung jawab serta pembagian kerja. Untuk setiap tindakan dan bagi setiap petugas harus menerima perintah hanya dari seorang atasan saja. Jika perintah datang hanya dari satu sumber maka setiap orang juga akan tahu kepada siapa ia harus bertanggungjawab sesuai wewenang yang telah diberikan kepadanya.
5. Adanya Kesatuan Arahan (Unity of direction)
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, personil atau karyawan perlu diarahkan menuju tujuan yang menjadi sasarannya. Seorang pemimpin atau manajer harus dapat member pengarahan yang jelas terhadap anak buahnya. Kejelasan komunikasi dalam menyampaikan pesan-pesan juga harus jelas struktur kalimat yang digunakan, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Begitu juga dalam memberikan arahan antara pimpinan satu dengan pimpinan yang lain harus ada kesatuan bahasa atau kesatuan arah yang jelas. Kesatuan pengarahan bertalian erat dengan pembagian kerja. Kesatuan pengarahan tergantung pula terhadap kesatuan perintah. Dalam pelaksanaan kerja bisa saja terjadi adanya dua perintah sehingga menimbulkan arah yang berlawanan. Oleh karena itu, perlu alur yang jelas dari mana karyawan mendapat wewenang untuk pmelaksanakan pekerjaan dan kepada siapa ia harus mengetahui batas wewenang dan tanggung jawabnya agar tidak terjadi kesalahan. Pelaksanaan kesatuan pengarahan (unity of directiion) tidak dapat terlepas dari pembaguan kerja, wewenang dan tanggung jawab, disiplin, serta kesatuan perintah.
6. Mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan sendiri
Setiap komponen organisasi, lembaga atau perusahaan baik pimpinan atau personil/karyawan harus mengabdikan kepentingan pribadi demi kepentingan organisasi atu perusahaan. Hal semacam itu merupakan suatu syarat yang sangat penting agar setiap kegiatan berjalan dengan lancar sehingga tujuan yang direncanaakan dapat tercapai dengan baik.
Jika Setian unsur organisasi atau perusahaan , baik pimpinan atau karyawan dapat mengabdikan kepentingan pribadinya untuk kepentingan organisasi, maka kesuksesan mmbangun organisasi atau perusahaan dapat diwujudkan dengan mudah. Adanya kesadaran bahwa kepentingan pribadi sebenarnya tergantung kepada berhasil-tidaknya kepentingan organisasi, itulah sebenarnya wujud prinsip yang harus dibangun. Prinsip pengabdian kepentingan pribadi kepada kepentingan organisasi dapat terwujud, apabila setiap pimpinan dan karyawan merasa senang dalam bekerja sehingga memiliki disiplin yang tinggi.
7. Adanya Pemberian Kesejahteraan atau gaji pegawai
Imbalan kerja, upah, gaji atau apapun namanya, bagi setiap personil organisasi, lembaga atau perusahaan, merupakan kompensasi yang menentukan terwujudnya kelancaran dalam bekerja. Karyawan atau staf yang memliki perasaan cemas, tertekan dan kekurangan dalam kebutuhan hidup sehari-harinya akan sulit berkonsentrasi terhadap tugas dan kewajibannya sehingga dapat mengakibatkan ketidaksempurnaan dalam bekerja. Oleh karena itu, dalam prinsip pemberian kesejahteraan, imbalah atau penggajian harus dipikirkan bagaimana agar karyawan dapat bekerja denganrasa senang, tenang dan nyaman. Sistem penggajian harus diperhitungkan agar menimbuulkan kedisiplinan dan kegairahan kerja sehingga karyawan berkompetisi untuk membuat prestasi yang lebih besar. Prinsip more pay for more prestige (upaya lebih untuk prestasi lebih), dan prinsip upah sama untuk prestasi yang sama perlu diterapkan sebab apabila ada perbedaan akan menimbulkan kelesuan dalam bekerja dan mungkin akan menimbulkan tindakan tidak disiplin. Prinsip keadilan dan pemberian sesuai job, harus juga dikomunkasikan terlenih dahulu, sehingga tidak menimbulkan kecermburuan social dalam organisasi atau perusahaan terebut.
8. Adanya Pemusatan Wewenang (Centralization)
Pemusatan wewenang akan menimbulkan pemusatan tanggung jawab dalam suatu kegiatan. Tanggung jawab terakhir terletak ada orang yang memegang wewenang tertinggi atau manajer puncak. Pemusatan bukan berarti adanya kekuasaan untuk menggunakan wewenang, melainkan untuk menghindari kesimpangsiuran wewenang dan tanggung jawab. Pemusatan wewenang ini juga tidak menghilangkan asas pelimpahan wewenang (delegation of authority)
9. Adanya Hirarki (tingkatan)
Pembagian kerja menimbulkan adanya atasan dan bawahan. Bila pembagian kerja ini mencakup area yang cukup luas akan menimbulkan hirarki. Hirarki diukur dari wewenang terbesar yang berada pada manajer puncak dan seterusnya berurutan ke bawah. dengan adanya hirarki ini, maka setiap karyawan akan mengetahui kepada siapa ia harus bertanggung jawab dan dari siapa ia mendapat perintah.
10. Adanya Keadilan dan kejujuran
Keadilan dan kejujuran merupakan salah satu syarat untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Keadilan dan kejujuran terkait dengan moral karyawan dan tidak dapat dipisahkan. Keadilan dan kejujuran harus ditegakkan mulai dari pimpinan (atasan) karena pimpinan memiliki wewenang yang paling besar. Manajer yang adil dan jujur akan menggunakan wewenangnya dengan sebaik-baiknya untuk melakukan keadilan dan kejujuran pada bawahannya. Keadilan dituntut misalnya dalam penempatan tenaga kerja yang harus benar-benar dipertimbangkan berdasarkan pendidikan, pengalaman dan keahlian seseorang. Kecuali itu keadilan juga dituntut dalam pembagian upah, sesuai berat ringannya pekerjaan dan tanggungjawab seseorang.
Kejujuran dituntut agar masing-masing orang bekerja untuk kepentingan bersama bukan mendahulukan kepentingan pribadi.
11. Adanya Stabilitas kondisi karyawan
Dalam setiap kegiatan kestabilan karyawan harus dijaga sebaik-baiknya agar segala pekerjaan berjalan dengan lancar. Kestabilan karyawan terwujud karena adanya disiplin kerja yang baik dan adanya ketertiban dalam kegiatan.
Manusia sebagai makhluk sosial yang berbudaya memiliki keinginan, perasaan dan pikiran. Apabila keinginannya tidak terpenuhi, perasaan tertekan dan pikiran yang kacau akan menimbulkan goncangan dalam bekerja.
12. Adanya Prakarsa (Inisiative)
Prakarsa timbul dari dalam diri seseorang yang menggunakan daya pikir. Prakarsa menimbulkan kehendak untuk mewujudkan suatu yang berguna bagi penyelesaian pekerjaan dengan sebaik-beiknya. Jadi dalam prakarsa terhimpun kehendak, perasaan, pikiran, keahlian dan pengalaman seseorang. Oleh karena itu, setiap prakarsa yang datang dari karyawan harus dihargai. Prakarsa (inisiatif) mengandung arti menghargai orang lain, karena itu hakikatnya manusia butuh penghargaan. Setiap penolakan terhadap prakarsa karyawan merupakan salah satu langkah untuk menolak gairah kerja. Oleh karena itu, seorang manajer yang bijak akan menerima dengan senang hari prakarsa-prakarsa yang dilahirkan karyawannya.
13 Semangat kesatuan dan semangat korps
Setiap karyawan harus memiliki rasa kesatuan, yaitu rasa senasib sepenanggyungan sehingga menimbulkan semangat kerja sama yang baik. semangat kesatuan akan lahir apabila setiap karyawan mempunyai kesadaran bahwa setiap karyawan berarti bagi karyawan lain dan karyawan lain sangat dibutuhkan oleh dirinya. Manajer yang memiliki kepemimpinan akan mampu melahirkan semangat kesatuan (esprit de corp), sedangkan manajer yang suka memaksa dengan cara-cara yang kasar akan melahirkan friction de corp (perpecahan dalam korp) dan membawa bencana.
B. Penerapan Prinsip Manajemen pada Pendidikan
Ada 3 faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan yaitu:
1. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input – input analisis yang tidak konsisten.
2. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik.
3. Peran serta mayarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim.
Berdasarkan penyebab tersebut dan dengan adanya era otonomi daerah yang sedang berjalan maka kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk mengembangkan SDM adalah :
1. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MBS) dimana sekolah diberikan kewenangan untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan.
2. Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education)
3. Dengan menggunakan paradigma belajar yang akan menjadikan pelajar-pelajar menjadi manusia yang diberdayakan.
Komponen yang terkait dengan mutu pendidikan tersebut adalah:
1. Siswa: a. Kesiapan dan motivasi belajar siswa
b. Sarasan belajar siswa
2. Guru: a. Kemampuan professional.
b. Moral kerjanya (kemampuan personal).
c. Kerjasamanya (kemampuan social)
3. Kurikulum : Relevansi konten dan operasionalisasi proses pembelajarannya.
4. Sarana dan prasarana : Kecukupan dan keefektifan dalam mendukung proses pembelajaran.
5. Masyarakat : Partisipasinya dalam mengembangkan program-program pendidikan.


BAGIAN V
RUANG LINGKUP MANAJEMEN PENDIDIKAN

Berbicara tentang kegiatan pendidikan, di bawah ini beberapa pandangan dari para ahli tentang bidang-bidang kegiatan yang menjadi wilayah garapan manajemen pendidikan. Ngalim Purwanto (1986) mengelompokkannya ke dalam tiga bidang garapan yaitu :
1. Administrasi material, yaitu kegiatan yang menyangkut bidang-bidang materi/ benda-benda, seperti ketatausahaan sekolah, administrasi keuangan, gedung dan alat-alat perlengkapan sekolah dan lain-lain.
2. Administrasi personal, mencakup di dalamnya administrasi personal guru dan pegawai sekolah, juga administrasi murid. Dalam hal ini masalah kepemimpinan dan supervisi atau kepengawasan memegang peranan yang sangat penting.
3. Administrasi kurikulum, seperti tugas mengajar guru-guru, penyusunan sylabus atau rencana pengajaran tahunan, persiapan harian dan mingguan dan sebagainya.
Hal serupa dikemukakan pula oleh M. Rifa’i (1980) bahwa bidang-bidang administrasi pendidikan terdiri dari :
1. Bidang kependidikan atau bidang edukatif, yang menyangkut kurikulum, metode dan cara mengajar, evaluasi dan sebagainya.
2. Bidang personil, yang mencakup unsur-unsur manusia yang belajar, yang mengajar, dan personil lain yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar.
3. Bidang alat dan keuangan, sebagai alat-alat pembantu untuk melancarkan siatuasi belajar mengajar dan untuk mencapai tujuan pendidikan sebaik-baiknya.
Sementara itu, Thomas J. Sergiovani sebagimana dikutip oleh Uhar Suharsaputra (2002) mengemukakan delapan bidang administrasi pendidikan, mencakup :
1. Instruction and curriculum development;
2. Pupil personnel;
3. Community school leadership;
4. Staff personnel;
5. School plant;
6. School trasportation;
7. Organization and structure dan
8. School finance and business management.
Di lain pihak, Direktorat Pendidikan Menengah Umum Depdiknas (1999) telah menerbitkan buku Panduan Manajemen Sekolah, yang didalamnya mengetengahkan bidang-bidang kegiatan manajemen pendidikan, meliputi:
1. Manajemen kurikulum;
2. Manajemen personalia;
3. Manajemen kesiswaan;
4. Manajemen keuangan;
5. Manajemen perawatan preventif sarana dan prasarana sekolah.
Dari beberapa pendapat di atas, agaknya yang perlu digarisbawahi yaitu mengenai bidang administrasi pendidikan yang dikemukakan oleh Thomas J. Sergiovani. Dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, pandangan Thomas J. Sergiovani kiranya belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, terutama dalam bidang school transportation dan business management. Dengan alasan tertentu, kebijakan umum pendidikan nasional belum dapat menjangkau ke arah sana. Kendati demikian, dalam kerangka peningkatkan mutu pendidikan, ke depannya pemikiran ini sangat menarik untuk diterapkan menjadi kebijakan pendidikan di Indonesia.
Merujuk kepada kebijakan Direktorat Pendidikan Menengah Umum Depdiknas dalam buku Panduan Manajemen Sekolah, berikut ini akan diuraikan secara ringkas tentang bidang-bidang kegiatan pendidikan di sekolah, yang mencakup :
A. Manajemen kurikulum
Manajemen kurikulum merupakan subtansi manajemen yang utama di sekolah. Prinsip dasar manajemen kurikulum ini adalah berusaha agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik, dengan tolok ukur pencapaian tujuan oleh siswa dan mendorong guru untuk menyusun dan terus menerus menyempurnakan strategi pembelajarannya. Tahapan manajemen kurikulum di sekolah dilakukan melalui empat tahap :
1. Perencanaan;
2. Pengorganisasian dan koordinasi;
3. Pelaksanaan; dan
4. Pengendalian.
Dalam konteks Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Tita Lestari (2006) mengemukakan tentang siklus manajemen kurikulum yang terdiri dari empat tahap :
1. Tahap perencanaan; meliputi langkah-langkah sebagai :
a. Analisis kebutuhan;
b. Merumuskan dan menjawab pertanyaan filosofis;
c. Menentukan disain kurikulum; dan
d. Membuat rencana induk (master plan): pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian.
2. Tahap pengembangan; meliputi langkah-langkah :
a. perumusan rasional atau dasar pemikiran;
b. perumusan visi, misi, dan tujuan;
c. penentuan struktur dan isi program;
d. pemilihan dan pengorganisasian materi;
e. pengorganisasian kegiatan pembelajaran;
f. pemilihan sumber, alat, dan sarana belajar; dan
g. penentuan cara mengukur hasil belajar.
3. Tahap implementasi atau pelaksanaan; meliputi langkah-langkah:
a.Penyusunan rencana dan program pembelajaran (Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran);
b. Penjabaran materi (kedalaman dan keluasan);
c. Penentuan strategi dan metode pembelajaran;
d. Penyediaan sumber, alat, dan sarana pembelajaran;
e. Penentuan cara dan alat penilaian proses dan hasil belajar; dan
f. Setting lingkungan pembelajaran
4. Tahap penilaian; terutama dilakukan untuk melihat sejauhmana kekuatan dan kelemahan dari kurikulum yang dikembangkan, baik bentuk penilaian formatif maupun sumatif. Penilailain kurikulum dapat mencakup Konteks, input, proses, produk (CIPP) : Penilaian konteks: memfokuskan pada pendekatan sistem dan tujuan, kondisi aktual, masalah-masalah dan peluang. Penilaian Input: memfokuskan pada kemampuan sistem, strategi pencapaian tujuan, implementasi design dan cost benefit dari rancangan. Penilaian proses memiliki fokus yaitu pada penyediaan informasi untuk pembuatan keputusan dalam melaksanakan program. Penilaian product berfokus pada mengukur pencapaian proses dan pada akhir program (identik dengan evaluasi sumatif)

B. Manajemen Kesiswaan
Dalam manajemen kesiswaan terdapat empat prinsip dasar, yaitu :
1. Siswa harus diperlakukan sebagai subyek dan bukan obyek, sehingga harus didorong untuk berperan serta dalam setiap perencanaan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan kegiatan mereka;
2. Kondisi siswa sangat beragam, ditinjau dari kondisi fisik, kemampuan intelektual, sosial ekonomi, minat dan seterusnya. Oleh karena itu diperlukan wahana kegiatan yang beragam, sehingga setiap siswa memiliki wahana untuk berkembang secara optimal;
3. Siswa hanya termotivasi belajar, jika mereka menyenangi apa yang diajarkan; dan
4. Pengembangan potensi siswa tidak hanya menyangkut ranah kognitif, tetapi juga ranah afektif, dan psikomotor.

C. Manajemen Personalia
Terdapat empat prinsip dasar manajemen personalia yaitu :
1. Dalam mengembangkan sekolah, sumber daya manusia adalah komponen paling berharga;
2. Sumber daya manusia akan berperan secara optimal jika dikelola dengan baik, sehingga mendukung tujuan institusional;
3. Kultur dan suasana organisasi di sekolah, serta perilaku manajerial sekolah sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pengembangan sekolah; dan
4. Manajemen personalia di sekolah pada prinsipnya mengupayakan agar setiap warga dapat bekerja sama dan saling mendukung untuk mencapai tujuan sekolah.
Disamping faktor ketersediaan sumber daya manusia, hal yang amat penting dalam manajamen personalia adalah berkenaan penguasaan kompetensi dari para personil di sekolah. Oleh karena itu, upaya pengembangan kompetensi dari setiap personil sekolah menjadi mutlak diperlukan.

D. Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan di sekolah terutama berkenaan dengan kiat sekolah dalam menggali dana, kiat sekolah dalam mengelola dana, pengelolaan keuangan dikaitkan dengan program tahunan sekolah, cara mengadministrasikan dana sekolah, dan cara melakukan pengawasan, pengendalian serta pemeriksaan.
Inti dari manajemen keuangan adalah pencapaian efisiensi dan efektivitas. Oleh karena itu, disamping mengupayakan ketersediaan dana yang memadai untuk kebutuhan pembangunan maupun kegiatan rutin operasional di sekolah, juga perlu diperhatikan faktor akuntabilitas dan transparansi setiap penggunaan keuangan baik yang bersumber pemerintah, masyarakat dan sumber-sumber lainnya.

E. Manajemen Perawatan Preventif Sarana dan Prasana Sekolah
Manajemen perawatan preventif sarana dan prasana sekolah merupakan tindakan yang dilakukan secara periodik dan terencana untuk merawat fasilitas fisik, seperti gedung, mebeler, dan peralatan sekolah lainnya, dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja, memperpanjang usia pakai, menurunkan biaya perbaikan dan menetapkan biaya efektif perawatan sarana dan pra sarana sekolah.
Dalam manajemen ini perlu dibuat program perawatan preventif di sekolah dengan cara pembentukan tim pelaksana, membuat daftar sarana dan pra saran, menyiapkan jadwal kegiatan perawatan, menyiapkan lembar evaluasi untuk menilai hasil kerja perawatan pada masing-masing bagian dan memberikan penghargaan bagi mereka yang berhasil meningkatkan kinerja peralatan sekolah dalam rangka meningkatkan kesadaran merawat sarana dan prasarana sekolah.
Sedangkan untuk pelaksanaannya dilakukan : pengarahan kepada tim pelaksana, mengupayakan pemantauan bulanan ke lokasi tempat sarana dan prasarana, menyebarluaskan informasi tentang program perawatan preventif untuk seluruh warga sekolah, dan membuat program lomba perawatan terhadap sarana dan fasilitas sekolah untuk memotivasi warga sekolah.



BAGIAN VI
KEPEMIMPINAN DAN ORGANISASI PENDIDIKAN

A. Definisi Kepemimpinan
Garry yukl, menyimpulkan definisi yang mewakili tentang kepemimpinan antara lain :
1. Kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin aktifitas –aktifitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingindicapai bersama.
2. Kepemimpinan adalah proses pengaruh aktifitas suatu kelompok yang diorganisasikan kearah pencapaian tujuan.
3. Kepemimpinan sebagai sebuah proses pengaruh sosial yang dalam hal ini pengaruh sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktifitas – aktifitas serta hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau organisasi.
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai hubungan dimana satu orang yakni pemimpin mempengaruhi pihak lain untuk bekerjsama secara sukarela dalam usaha mengerjakan tugas – tugas yang berhubungan untuk mencapai hal yang diinginkan oleh pemimpin tersebut.
Selain itu kepemimpinan dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan penataan berupa kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi tertentu agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

B. Peran Pemimpin
Peran pemimpin memiliki kemampuan untuk menentukan tindakan-tindakan apa sebaiknya harus dilakukan agar dapat mencapai tujun-tujuan kelompok. Hal tersebut mengharuskan adanya pengertian tentang bagaimana tindakan-tindakan sebagi seorang pemimpin akan mempengaruhi pekerjaan kelompok maupun anggota-anggota kelompok yang bersangkutan. Ia mencakup pembuatan keputusan secara efektif dan implementasinya.
Seorang pemimpin harus mampu memberikan bantuan praktis kepada para pengikutnya. Kepentingan memerlukan adanya pengikut-pengikut. Agar supaya efektif, seorang pemimpin harus mempertahankan dan mengembangkan penerimaan secara kontinue dan kepercayaan para anggota kelompok.
Keterlibatan seorang pemimpin meliputi kemampuan untuk bukan saja mendalami diri sendiri dalam bidang pekerjaanya sendiri, tetapi pula dengan manusia.

C. Tipologi Kepemimpinan
1. Tipe otokratis. Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang mempunyai kriteria atau ciri sebagai berikut : Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi, mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi, menganggap bawahan sebagai alat semata-mata, tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat, terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya, dalam tindakan penggeraknya sering menggunakan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.
2. Tipe militeristik. Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang pemimpin yang tipe militerisme berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut : dalam menggerakkan bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan, dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatan, senang pada formalitas yang berlebih-labihan, menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan, sukr menerima kritikan dari bawahannya, menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
3. Tipe paternalistik. Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin paternalistis ialah seorang yang memiliki ciri sebagai berikut : Menganggap bawahannnya sebagai manusia yang tidak dewasa, bersikap terlalu melindungi (overly protective) , jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya, dan sering bersikap mana tahu.
4. Tipe karismatik. Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan sebab-sebab mengapa seorang pemimpin memiliki karisma. Umumnya diketahui bahwa pemimpin yang demikian mempunayi daya tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya sangat besar, meskipun para pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu. Akarena kurrangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi pemimpin yang karismatik, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib ( supra natural powers ). Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk karisma. Gandhi bukanlah seorang yang kaya, Iskandar Zulkarnain bukanlah seorang yang fisik sehat, John F Kenndy adalah seorang pemimpin yang memiliki karisma meskipun masih muda pada waktu terpilih menjadi presiden Amerika Serikat. Mengenai profil, Ghandi tidak dapat digolongkan orang yang ”ganteng”.
5. Tipe demokratis. Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratis yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini terjadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut : dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia, selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari bawahannya, selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam usaha mencapai tujuan, ikhlas memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada bwahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang lain, selalu berusaha untuk menjadikan bawahnnya lebih sukses daripadanya, dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.
Secara implisit tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah hal yang mudah. Namun, karena pemimpin yang demikian adalah yang paling ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang pemimpin yang demokratis.

D. Teori – teori Kepemimpinan
Dewasa ini terdapat macam-macam teori kepemimpinan. Di dalamnya termasuk perbedaan dalam pendapat, motodologi keterangan dan kesimpulan. Ada enam teori tentang kepmimpinan diantaranya :
1. Teori Keadaan
Pada teori ini kpemimpinan teridiri dari empat variable yaitu : pemimpin, para pengikut organisasi dan pengaruh –pengaruh sosial, ekonomi dan politik. Walaupun semua variable penting, banyak perhatian dutujukan kepada organisasi dan lingkungan sosial, ekonomi, dan politik.
Kepemimpinan harus terdapat cukup fleksibilitas agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang berbeda-beda.
2. Teori Kelakuan Pribadi
Kepemimpinan dapat pula dipelajari atas dasar kwalitas pribadi atau pola kelakuan para pemimpin. Salah satu sumbangsih penting teori ini adalah bahwa seorang pemimpin tidak berkelakuan sama ataupun melakukan tindakan – tindakan sama dalam situasi yang dihadapinya.
3. Teori Supportif
Disini oihak pemimpin mengambil sikap bahwa para pengikut ingin melaksanakan usaha mereka sebaik – baiknya dan memimpin mereka sebaiknya dilakukan dengan jalan mensupport usaha-usaha mereka.
Pemimpin melaksanakan pengawasan manejerial secara umum dan mendorong bawahannya untuk menggunakan kreatifitas dan inisiatif mereka dalam hal mengerjakan detail dari pada pekerjaan mereka.
Keuntungan dari teori ini adalah bahwa praktek membantu pengikut dan memperlakukan mereka sebagi individu sesuai dengan harkat dan hak-hak manusia menyebabkan pegawai menjadi koperatif, produktif dan puas.
4. Teori Sosiologis
Pada teori ini kepemimpinan dianggap terdiri dari usaha –usaha kerja yang :
a. Membantu aktifitas –aktifitas para pengikut dan
b. Berusaha untuk menyelesaikan setiap konflik organisatoris antara pengikutnya.
Pemimpin menetapkan tujuan – tujuan dimana para pengikut turut berpartisipasi dalam bidang pembuatan keputusan akhir. Identifikasi tujuan memberikan arah yang seringkali diperlukan oleh para pengikut.

5. Teori Psikologis
Menurut teori ini menyatakan bahwa fungsi pokok seorang pemimpin adalah mengembangkan sistem motivasi yang terbaik. Kepemimpinan yang memotivasi sangat memperhatikan sifat – sifat bawahan seperti : pengakuan, lepastian emosional dan kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan keinginan – keinginan dan kebutuhan – kebutuhan orang. Pemuasan kebutuhan demikian dengan cara yang membantu agar organisasi lebih berhasil merupakan hal yang harus dilaksanakan oleh pemimpin teori psikologis. Program-progam untuk memuaskan kebutuhan –kebutuhan tersebut merupakan tantangan bagi pemimpin psikologis.
6. Teori Otokratis
Kepemimpinan berdasarkan teori ini menekankan perintah – perintah, paksaan – paksaan, pemimpin disini cenderung memuaskan perhatiannya terhadap pekerjaan, ia mengadakan supervisi ketat agar pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan rencana dan ia memanfaatkan pengukuran- pengukuran dalam bidang poduksi untuk mencapai tujuannnya.
Pemimpin otokratis mengunakan perintah – perintah yang umumnya dibantu dengan sanksi – sanksi. Dan disini disiplin merupakan hal yang terpenting.

E. Perilaku – perilaku Kepemimpinan Yang Efektif
Seorang pemimpin harus mempunyai keterlibatan meliputi kemampuan untuk bukan saja mendalami diri sendiri dalam bidang pekerjaan kita sendiri, tetapi pula dengan manusia.
Untuk menjadi pemimpin yang efektif, perlu adanya faktor – faktor yang mempengaruhi efektivitas pemimpin meliputi :
1. Kepribadian pengalaman masa lalu dan harpan hal ini mencakup nilai-nilai, latar belakang dan pengalamannya akan mempengaruhi pilihan akan gaya.
2. Pengharapan dan perilaku atasan.
3. Karakteristik, harapan dan perilaku bawahan, mempengaruhi terhadap gaya kepemimpinan manajer.
4. Kebutuhan tugas, setiap tugas bawahan juga akan mempengaruhi gaya pemimpin.
5. Iklim dan kebijakan organisasi mempengaruhi harapan dan perilaku kebutuhan.
6. Harapan dan perilaku rekan.

F. Pemimpin Dinamis Sebagai Teladan
Ada beberapa perilaku pimpinan yang menjadi teladan untuk dikiuti anak buahnya, dean hal ini akan berpengaruh posistif dalam proses kepemimpinannya. Sikap dan prilaku yang dapat mmpenaruhi bawahannya adalah:
1. Pemimpin yang mempunyai gagasan dan pemikiran pembaharuan (inovasi)
Mereka mencari kesempatan untuk mengubah status quo. Mereka mencari cara yang inovatif untuk meningkatkan organisasi. Mereka melakukan eksperimen dan mengambil resiko. Dan karena pengambilan resiko melibatkan kesalahan dan kegagalan, pemimpin menerima kekecewaan sebagai kesempatan belajar.
2. Pemimpin yang menjadi wawasan dan inspirasi bersama
Mereka secara pribadi meyakini bisa membuat perbedaan. Mereka membayangkan masa depan, menciptakan bayangan yang ideal dan unik tentang bisa menjadi apa masyarakat, keagenan, atau organisasi. Melalui daya tarik dan bujukan, pemimpin mengajak orang lain dalam impian. Mereka mengembuskan napas kehidupan ke dalam wawasan bersama dan membuat orang lain melihat kemungkinan masa depan yang menarik.
3. Pemimpin yang mampu member motivasi orang lain. bisa bertinda
Mereka mengajukan kerjasama dan membentuk tim yang bersemangat. Mereka secara aktif melibatkan orang lain. Pemimpin memahami bahwa rasa laing menghormati adalah usaha yang sangat baik; mereka berusaha keras menciptakan suasana kepercayaan dan martabat manusia. Mereka memperkuat orang lain dengan berbagai informasi dan memberikan pilihan. Mereka memberikan kekuasaan, membuat setiap orang merasa mampu dan berkuasa.
4. Pemimpin yang menjadi pengarah yang jelas
Mereka menciptakan standar keunggulan, dan kemudian memberikan teladan untuk diikuti lain. Mereka menetapkan nilai-nilai tentang bagaimana peserta, rekan kerja, dan pelanggan harus diperlakukan. Karena perubahan yang rumit bisa membuat kewalahan dan mematikan tindakan, pemimpin mencapai kemenangan-kemenangan kecil. Mereka membongkar birokrasi, memasang papan tanda, dan menciptakan kesempatan untuk kemenangan.
5. Pemimpin yang menjadi penyemangat hati dan jiwa
Menyelesaikan banyak hal yang luar biasa dalam organisasi adalah kerja keras. Untuk menjaga agar harapan dan tekad tetap hidup, pemimpin menghargai sumbangan yang diberikan individu dalam mendaki ke puncak. Dan karena setiap tim yang merebut kemenangan perlu berbagi imbalan usaha, pemimpin merayakan keberhasilan. Mereka membuat setiap orang merasa seperti pahlawan.








BAGIAN VII
PERAN KEPALA SEKOLAH
DALAM ORGANISASI KEPENDIDIKAN

A. Definisi Kepala Sekolah
Kepala dapat diartikan ” Ketua ” atau ”Pemimpin” dalam suatu organisasi atau sebuah lembaga. Sedang ”Sekolah” adalah sebuah lembaga di mana menjadi tempat menerima dan memberi pelajaran peserta didik.
Dengan demikian kepala sekolah dapat didefinikan sebagai : ”seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah di mana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran”.
Kata ”memimpin” dari rumusan tersebut mengandung makna luas, yaitu : ”kemampuan untuk menggerakkkan segala sumber yang ada pada suatu sekolah sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang telah diciptakan.
Definisi lain disebutkan bahwa kepala sekolah adalah seseorang yang menyiapkan situasi sekolah yang ia pimpin untuk memungkinkan tercapainya tujuan dengan baik. Situasi sekolah ini meliputi suasana dalam kehidupan sekolah, hubungan kelur ke dalam, jalnnya pendidikan dan pengajaran, pengadaan dan pemeliharaan halaman, gedung, perlengkapan, bimbingan, pengawasan, kesehatan, dan sebagainya.

B. Peran Kepala Sekolah dalam Organisasi Pendidikan
Dalam kepemimpinan pendidikan, Kepala Sekolah/Madrasah mempunyai wewenang dan tanggung jawab seluruh proses dalam organisasi pendidikan yang dipimpinnya. Organisasi pendidikan di sekolah atau madrasah, diatur dalam suatu susunan organisasi secara struktural yang masing-masing bagian mempunyai tugas dan tanggung jawab. Keseluruhan bawahannya, diatur dan digerakkan oleh seorang leader atau manajer yang disebut kepala sekolah. Dalam suatu organisasi pendidikan di lembaga sekolahan, masing-masing bagian mempunyai tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan.
Manajemen adalah proses perencanaan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan usaha anggota – anggota organisasi serta pendayagunaan seluruh sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah diterapkan.
Keberadaan manajer dalam suatu organisasi termasuk organisasi pendidikan sangat diperlukan, organisasi sebagai alat mencapai tujuan organisasi dimana di dalamnya berkembang berbagai macam pengetahuan, serta organisasi yang menjadi tempat untuk membina dan mengembangkan karir-karir Sumber Daya Manusia, memerlukan manajer yang mampu untuk merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan agar organisasi dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut James A.F. Stoner ada delapan macam fungsi seorang manajer yang perlu dilaksanakan dalam suatu organisasi dan fungsi ini berlaku bagi setiap manajer termasuk kepala sekolah. Adapun fungsinya bahwa para manajer :
a. Bekerja dengan melalui orang lain ( work with and through other people ). Dalam konteks organisasi pendidikan, pengertian orang lain tidak hanya para guru, staf, siswa dan orang tua siswa, melaikan termasuk atasan kepala sekolah, para kepala sekolah lain serta pihak-pihak yang perlu berhubungan dan bekerjasama. Dalam fungsi ini, kepala sekolah berperilaku sebagai saluran komunikasi dilingkungan sekolah (as channels of communication within the organization).
b. Bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan (responsible and accountable). Keberhasilan dan kegagalan bawahan adalah suatu pencerminan langsung keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin. Dengan demikian kepala sekolah bertanggungjawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh bawahan. Perbuatan yang dilakukan oleh para guru, siswa, staf dan orangtua siswa tidak dapat dilepaskan Dari tanggungjawab kepala sekolah.
c. Dengan waktu dan sumber yang terbatas mampu menghadapi bebagai persoalan. (manager balancecompeting goals and set priorities).
Dengan segala keterbatasan, seorang kepalan sekolah harus dapat mengatur pemberian tugas secara tepat. Bahkan adakalanya seorang kepala sekolah harus dapat menentukan suatu prioritas bilaman terjadi konflik antara kepentingan bawahan dengan kepentingan sekolah.
d. Harus berpikir secara analistik dan konsepsional. (must think analitycally and conceptionality).
Fungsi ini berarti menuntut setiap kepala sekolah harus dapat memecahkan persoalan melalui suatu analisis, kemudian menyelesaikan persoalan dengan satu solusi yang feasible.
e. Sebagai juru penengah ( mediators ).
Dalam lingkungan sekolah sebagai satu organisasi, yang didalamnya terdapat bebagai macam karakter manusia dan berbagai latar belakang kehidupan sosial, maka tidak akan terelakkan suatu pertentangan dan konflik satu dengan yang lain. Untuk itu kepala sekolah bertugas sebagai penengah/pelerai.
f. Sebagai politis ( politicians ).
Sebagai seorang politisi berarti kepala sekolah harus dapat membangun hubungan kerjasama melalui pendekatan persuasi dan kesepakatan sehingga dapat mengembangkan program jauh kedepan. Peran politis yang dimaksud dapat digambarkan dengan terbentuknya aliansi : seperti OSIS dan BP3 serta terkalinnya kerjasama dengan berbagai pihak sehingga aneka macam aktifitas dapat dilaksanakan.
g. Seorang diplomat.
Dalam peranan sebagai diplomat dalam berbagai macam pertemuan kepala sekolah dalah wakil resmi Dari sekolah yang dipimpinnya.
h. Sebagai pengambil keputusan yang sulit ( make difficult decisions )
Tidak ada satu organisasi pun yang berjalan mulus tanpa problem. Demikian pula kepala sekolah sebagai suatu organisasi tidak luput dari problem seperti : kesulitan dana, persoalan pegawai, perbedaan pendapat dan masih banyak lagi. Apabila terjadi kesulitan – kesulitan tersebut, maka kepala sekolah diharapkan berperan sebagai orang yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut.
Di bawah ini dijabarkan job diskripsi dari masing-masing komponen tersebut:
1. Kepala Sekolah sebagai pimpinan mempunyai tugas dan tanggung jawab sbb:
a. Menyusun perencanaan
b. Mengorganisasikan kegiatan
c. Mengarahkan kegiatan
d. Mengkoordinasikan kegiatan
e. Melakukan evaluasi terhadap kegiatan
f. Menentukan kebijaksanaan
g. Mengadakan rapat
h. Mengambil keputusan
i. Mengatur proses belajar mengajar
j. Mengatur administrasi:
a. Kantor
b. Siswa
c. Pegawai
d. Perlengkapan
e. Keuangan RAPBS
k. Mengatur organisasi siswa intra sekolah 12. Mengatur hubungan sekolah dengan
masyarakat dan dunia usaha
2. Kepala sekolah sebagai adminstrator bertugas menyelenggarakan administrasi,
Kepala sekolah sebagai administrator pendidikan, betanggungjawab terhadap kelancaran pelaksanaan pendidikan dan pengajaran disekolahnya. Untuk dapat melksanakan perannnya maka kepala sekolah harus memahami, menguasai dan mampu melaksanakan fungsi – fungsi administrator yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, pengawasan dan kepegawaian.
a. Membuat perencanaan
Salah satu fungsi pertama dan utama yang menjadi tanggungjawab kepala adalah membuat atau menyusun perencanaan. Tanpa perencanaan atau planning, pelaksanaan suatu kegiatan akan mengalami kesulitan dan bahkan kegagalan. Oleh karena itu, paling tidak kepala sekolah harus membuat rencana tahunan. Setiap tahun, menjelang dimulai ajaran baru, kepala sekolah hendaknya sudah siap menyusun rencana yang akan dilaksanakan untuk ajaran berikutnya. Adapun penyusunan rencana tahunan hendaklah mencakup berbagai bidang, yaitu : Program pengajaran, Kesiswaan, Kepegawaian, Keungan, Perlengkapan.
Perlu diketahui bahwa dalam penyusunan rencana tahunan ini, guru dan pegawai sekolah diikutsertakan sehingga dapat membantu pemikiran dan ide-ide serta pemecahan masalah yang mungkin tidak terpikirkan oleh kepala sekolah.
b. Menyusun Organisasi Sekolah.
Kepala sekolah sebagai administrator pendidikan perlu menyusun organisasi sekolah yang dipimpinnya, dan melaksanakan pembagian tugas serta weweangnya kepada guru – guru dan pegawai sekolah sesuai denga struktur organisasi sekolah yang baik, perlu memperhatikan prinsip – prinsip birikut :
1) Mempunyai tujuan jelas
2) Para anggota memahami dan menerima tujuan tersebut.
3) Adanya kesatuan arah.
4) Adanya kestuan perintah.
5) Adanya keseimbangan antara wewenang dan tanggungjawab seseorang di dalam organisasi 6) Adanya pembagian tugas yang sesuai dengan keahlian masing-masing.
7) Struktur organisasi hendakanya disusun sederhana mungkin dan sesuai kebutuhan.
8) Pola organisasi hendaknya relative permanent. Artinya, meskipun struktur organisasi bisa dubah sesuai dengan tuntutan perkembangan, fleksibilitas dalam penyesuaian itu jangan bersifat prinsip.
9) Adanya jaminan keamanan dalam bekerja, bawahan tidak merasa gelisah karean takut dipecat.
10) Garis-garis kekuasaan dan tanggungjawab serta hierarki tata kerjanya jelas tergambar dalam struktur organisasi.
c. Bertindak sebagai Koordinator dan Pengarah
Dengan adanya bermacam-macam tugas dan pekerjaan yang dilakukan oleh banyak orang, maka diperlukan koordinasi dan pengarahan dari kepala sekolah sehingga dapat menghindari kemungkinan terjadinya persaingan yang tidak sehat antar bagian ata antar personel sekolah. Seperti kerjasama antara urusan kurikulum dan pengajaran dengan guru – guru. kerjasama antara urusan bimbingan konseling dengan para wali kelas, dsb.
d. Melaksanakan Pengelolaan Kepegawaian
Agar pekerjaan sekolah dilakukan dengan senang, bergairah dan berhasil bik, maka dalam memberikan tugas personel, kepala sekolah hendaknya memperhatikan kesesuaian antara beban dan jenis tugas dengan kondisi serta kemampuan pelaksanaannya antara lain :
1) Jenis kelamin
2) Kesehatan fisik ( kuat tidaknya melakukan pekerjaan itu )
3) Latar belakang pendidikan.
4) Kemampuan dan pengalaman kerja.
5) Bakat, minat, hobi.
Hal lain yang termasuk dalam kepegawaian adalah masalah kesejahteraan personel. Yang dimaksud kesejahteraan disini adalah kesjahteraan yang tidak hanya berupa materi melainkan juga berupa rohani yang dapat mendorong para personel sekolah untuk lebih giat dalam melaksanakan tugasnya. Usaha peningkatan kesejahteraan dapt dilakukan dengan berbagai cara diantaranya :
1) Membentuk koperasi keluarga personel sekolah.
2) Mengadakan kegiatan – kegiatan seperti olah raga, diskusi – diskusi yang berhubungan dengan perkembangan profesi guru atau pegawai sekolah.
3. Kepala sekolah sebagai adminstrator bertugas menyelenggarakan administrasi,
a. Perencanaan
b. Pengorganisasian
c. Pengarahan
d. Pengkoordinasian
e. Pengawasan
f. Kurikulum
g. Kesiswaan
h. Kantor
i. Kepegawaian
j. Perlengkapan
k. Keuangan
l. Perpustakaan
m. Laboratorium
n. Ruang keterampilan kesenian
4. Kepala sekolah sebagai supervisor bertugas menyelenggarakan supervisi mengenai ,
Supervisi adalah aktifitas menentuka kondisi / syarat – syarat essensial yang akan menjamin tercapainya tujuan pendidikan. Melihat definisi tersebut, maka tugas kepala sekolah sebagai supervisor adalah cakap meneliti, menentukan syarat – syarat mana sajakah yang diperlukan bagi kemajuan sekolahnya sehingga tujuan pendidikan di sekolahnya dapat semaksimal mungkin tercapai.
Diantara pertanyaan berikut adalah menggambarkan bahwa kepala sekolah bertindak sebagi supervisor.
a. Bagaimana keadaan gedung sekolah? Sudah baik dan memenuhi syarat atau sudah rusak? Bagaimana usaha/adakah kemungkinan memperbaiki?
b. Bagaimana keadaan guru – guru? Terlalu banyak guru honorer daripada guru tetap? Adakah kemungkinan mengusahakan keadaan sebaliknya?
c. Bagaimana semangat kerja guru – guru dan pegawai sekolah? Banyak yang malas? Bagaimana absensi mereka? Apa yang menjadi sebabnya?
Secara khusus dan lebih konkrit lagi, kegiatan –kegiatan yang dilakukan oleh kepala sekolah sebagi supervisor, diantaranya :
d. Menghadiri rapat atau pertemuan organisasi – organisasi profesional seperti PGRI, Ikatan Sarjana Pendidikan.
e. Mendiskusikan metode – metode dan tehnik – tehnik dalam rangka pembinaan dan pengembangan proses belajar mengajar.
f. Melakukan kunjungan observasi bagi guru – guru demi perbaikan cara megajarnya.
5. Kepala sekolah sebagai supervisor bertugas menyelenggarakan supervisi mengenai ,
a. Kegiatan belajar mengajar
b. Kegiatan bimbingan dan penyuluhan/bimbingan karir
c. Kegiatan ekstrakurikuler
d. Kegiatan ketatausahaan
e. Kegiatan kerjasama dengan masyarakat dan dunia usaha

Tehnik – tehnik Supervisi :
Secara garis besar, tehnik supervisi dapat digolongkan menjadi 2 :
a. Tehnik Perseorangan
1) Mengadakan kunjungan kelas ( classroom visitation )
Yang dimaksud adalah kunjungan sewaktu – waktu yang dilakukan oleh supervisor ( kepala sekolah, pengawas ) untuk melihat dan mengamati seorang guru yang sedang mengajar, apakah guru tersebut sudah memenuhi syarat – syarat didaktik atau metodik yang sesuai. Setelah itu, supervisor akan diberi saran-saran dan nasehat demi kemajuan pengajaran.
2) Membimbing guru – guru tentang cara – cara mempelajari pribadi siswa dan atau mengatasi problem yang dialami siswa.
Banyak masalah yang daialami guru dalam menghadapi para siswa diantaranya adalah siswa yang lamban, tidak bisa konsentrasi dalam belajar, siswa yang nakal, siswa yang tidak punya rasa percaya diri dll. Nah, disinlah kepala sekolah sebagai supervisor membimbing guru tersebut untuk menyelesaikan problemnya.
3) Membimbing guru – guru dalam hal – hal yang berhubungan dengan
pelaksanaan kurikulum sekolah. Diantaranya adalah :
a) Menyusun Program Semester
b) Menyusun Program satuan Pelajaran
c) Mengorganisasi kegiatan – kegiatan pengelolaan kelas dll.
b. Tehnik Kelompok
Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain :
1). Mengadakan pertemuan atau rapat
Kepala sekolah yang baik adalah kepala sekolah yang menjalankan tugasnya berdasarkan rencana yang disusunnya, termasuk mengadakan rapat secara periodic bagi guru – guru. Rapat tersebut diantaranya berisi tentang : pengembangan kurikulum dan pembinaan administrasi.
2) Mengadakan diskusi kelompok ( group discussions )
Diskusi kelompok dapat diadakan dengan membentuk kelompok – kelompok guru bidang studi sejenis. Yang bertujuan untuk mengembangkan proses belajar mengajar. Dan kepala sekolah sebagi supervisor dapat memberikan pengarahan, bimbingan dan saran – saran.
3) Mengadakan penataran – penataran
Penataran – penataran yang dimaksud adalah penataran untuk bidang studi tertentu, misalnya penataran tentang metodologi pengajaran dan administrasi pendidikan. Pada umumnya penataran tersebut dislenggarakan oleh pusat atau wilayah, maka dari itu tugas kepala sekolah sebagai supervisor adalah mengelola dan membimbing pelaksanaan tindak lanjut ( follow up ) dari hasil penataran agar dapat dipraktekan oleh guru – guru.
a). Kegiatan belajar mengajar
b). Kegiatan bimbingan dan penyuluhan/bimbingan karir
c). Kegiatan ekstrakurikuler
d). Kegiatan ketatausahaan
e). Kegiatan kerjasama dengan masyarakat dan dunia usaha
6. Kepala Sekolah Sebagai Motivator
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering terbawa oleh arus dilingkungan kita sendiri, mulai dari kebiasaan kita yang secara rutinitas bangun pagi, tapi oleh karana sesuatu hal yang mempengaruhi kehidupan kita kebiasaan tersebut dapat dengan sendirinya berubah karena pengaruh lingkungan dan keluarga. Demikian halnya kita sebagai anggota pribadi dalam keluarga maupun anggota didalam suatu organisasi, bahwa manusia itu pada umumnya mempunyai kecenderung malas, kurang bertanggung jawab, dan menginginkan gaji lebih besar, serta menuntut dan menginginkan rasa aman yang berlebihan. (Teori X, McGregor)
Kebiasaan seperti ini, menimbulkan sifat egois yang mau menang sendiri dan selalu mendahulukan kepentingan diri sendiri dari pada kepentingan organisasinya, mereka tidak mau disebut egois, bahkan terhadap lingkungan disekelilingnya dia merasa yang lebih hebat dan tindak tanduknya menunjukkan bahwa dialah yang berkuasa dan tingkat ketterjanya pada umumnya di bawah tingkat kemampuannya sendiri. ( Argiris ).
Hanya orang yang termotivasi dan mencintai pekerjaannya (terutama karena termotivasi oleh pemimpin/orang lain) yang bekerja secara produktif, rajin, bersemangat, bertanggung jawab, dan mendahulukan kepentingan organisasinya secara maksimal, tidak pernah merasa putus asa dan selalu optimis untuk mencapai hari depan yang lebih baik sampai pada tingkat batas kemampuannya.( Mc Claland).
Kalau pendapat ketiga orang ahli di atas, kita hayati secara mendalam, maka peranan kepemimpinan dalam suatu organisasi sekecil apapun itu mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan dalam pencapaian tujuan organisasi.
Dengan demikian tidak salah kalau dikatakan bahwa pemimpin adalah orang yang utama dan terutama dalam menentukan dan merencanakan keberhasilan organisasinya dimasa yang akan datang. Karena itu, Kepala Sekolah sebagai pemimpin adalah orang utama dan terutama dalam merencanakan dan menentukan ke arah mana sekolah tersebut akan dibawa. Kegagalan dalam mencapai tujuan organisasi mempakan kegagalan bersama semua anggota organisasi terutama sekali kegagalan pemimpin.
Banyak sudah teori motivasi yang kita pelajari dan kita ketahui melalui berbagai sumber. Teori-teori tersebut pada umumnya adalah yang berkenaan dengan hal-hal spesifik yang berkaitan dengan memotivasi orang dan perlakunya. Dalam perilaku organisasi yang paling pokok dipelajari adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan sifat, perilaku, persepsi, sikap dan tujuan serta reaksi emosional yang timbul sesaat dapat dipelajari dari sikap dan perilakunya. Kalau demikian halnya, apa sebenarnya yang terkandung dalam motivasi tersebut. Agar mempunyai persepsi dan pandangan yang sama terhadap motivasi kiranya perlu diberikan suatu penjelasan mengenai lingkup dan pengertian yangjelas tentang motivasi.
Sebelum menguraikan dan mendalami teori motivasi secara luas dan mendalam, alangkah baiknya apabila dalam tulisan ini diberikan beberapa pendapat dan pandangan yang berkaitan dengan pengertian motivasi.
a. Kata motivasi berasal dari kata Motiv yang artinya daya (Force), atau dorongan (Urge) dalam diri seseorang, yang menggerakkan orang yang bersangkutan untuk melakukan tindakan tertentu, dalam mencapai tujuan tertentu pula.
b. Dorongan dalam diri seseorang akan timbul, karena adanya rangsangan. (hukum Stimulus dan Respons).
c. Dorongan (Force) dalam perilaku manusia, yang mempakan dorongan yang dapat mendukung pencapaian tujuan organisasi dan sebaliknya sebagai dorongan untuk menghindari atau menghambat tujuan organisasi. Dan dalam teori motivasi disebut sebagai:
1) Dorongan untuk meraih, atau disebut Positive Force
2) Dorongan untuk menghindari: atau disebut Negative Force
d. Perilaku terjadi karena adanya rancangan terhadap diri seseorang, rancangan ini
terdiri dari dua macam, yaitu :
1) Rangsangan dari luar diri sendiri, yang disebut Extrinsik Motivation
2) Rangsangan dari dalam diri sendiri, yang disebut Intrinsik Motivation
e. Bisa terjadi :
1) Tindakan sama, tapi motiv berbeda
2) Motivasi sama, tetapi tindakan berbeda.
Jadi apabila ingin memberikan pengertian motivasi secara umum maka Motivasi itu adalah proses timbulnya dorongan dalam diri seseorang, yang menyebabkan orang tersebut tergerak melakukan tindakan atau perbuatan tertentu, untuk mencapai tujuan tertentu.
Sebagai motivator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberikan motivasi kepada para tenaga kependidikan dalam melakukan berbagai tugas dan fungsinya. Motivasi ini dapat ditumbuhkan melalui pengaturan lingkungan fisik, pengaturan sarana kerja, disiplin, dorongan, penghargaan secara efektif dengan perincian sebagai berikut :
a. Pengaturan lingkungan fisik
Lingkungan yang kondusif kan menumbuhkan motivasi tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu kepala sekolah harus mampu membangkitkan motivasi tenaga kependidikan agar dapat melaksanakan tugas secara optimal. Pengaturan lingkungan fisik tersebuta antara lain mencakup ruang kerja yang kondusif, ruang belajar, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, bengkel, serta mengatur lingkungan sekolah yang nyaman dan menyenangkan.
b. Pengaturan suasana kerja
Seperti halnya iklim fisik, suasana kerja yang tenang dan menyenangkan juga akan membangkitkan kinerja para tenaga kependidikan. Untuk itu, kepala sekolah harus mampu menciptakan hubungan kerja yang harmonis dengan para tenaga kependidikan, serta menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan menyenangkan.
c. Disiplin
Disiplin dimaksudkan bahwa dalam maningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolah, kepala sekolah harus berusaha menanamkan disiplin kepada semua bawahannya. Melalui disiplin ini diharapkan dapat tercapai tujuan secara efektif dan efesien, serta dapat meningkatkan produktifitas sekolah. Peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan harus dimulai dengan sikap demokratis. Oleh karena itu, dalam membina disiplin para tenaga kependidikan kepala sekolah harus berpedoman pada pilar demokratis, yakni dari, oleh dan untuk tenaga kependidikan.
d. Dorongan
Keberhasilan suatu organisasi atau lembaga dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor yang datang dari dalam maupun yang datang dari lingkungan. Dari berbagai faktor tersebut, motivasi merupakan suatu faktor yang cukup dominan dan dapat menggerakkan faktor – faktor lain kearah efektifitas kerja, bahkan motivasi sering disamakan dengan mesin dan kemudian mobil, yang berfungsi sebagai penggerak dan pengarah. Setiap tenaga kependidikan memiliki karakteristik khusus, yang berbeda satu sama lain, sehingga memerlukan perhatian dan pelayanan khusus pula dari pemimpinnya, agar mereka dapat memanfaatkan waktu untuk meningkatkan profesionalismenya. Perbedaan tenaga kependidikan tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi dalam kondisi psikisnya, misalnya motivasi. Oleh karena itu untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan, kepala sekolah harus memperhatikan motivasi pra tenaga kependidikan dan faktor – faktor lain yang berpengaruh.
Terdapat beberapa prinsip yang diterapkan kepala sekolah untuk mendorong tenaga kependidikan agar mau dan mampu meningkatkan profesionalismenya.
Prinsip – prinsip tersebut adalah :
1). Para tenaga kependidikan akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik, dan menyenangkan.
2). Tujuan kegiatan perlu disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada para tenaga kependidikan sehingga mereka mengetahui tujuan yang dimaksud. Para tenaga kependidikan juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut.
3). Para tenaga kependidikan harus selalu diberitahu tentang setiap pekerjaanya.
4). Pemberian hadiah lebih baik daripada hukuman, namun sewaktu – waktu hukuman juga diperlukan.
5). Usahakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kependidikan dengan jalan memperhatikan kondisi fisiknya, memberikan rasa aman, menunjukkan bahwa kepala sekolah memperhatikan mereka, mengatur pengalaman sedemikian rupa sehingga setiap pegawai pernah memperoleh kepuasan dan penghargaan.
e. Penghargaan.
Penghargaan ( reward ) ini sangat penting untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan, dan untuk mengurangi kegiatan yang kurang produktif. Melalui penghargaan ini para tenaga kependidikan dapat dirangsang untukmeningkatkan profesionalisme kerjanya secara positif dan produktif. Pelaksanaan penghargaan dapat dikaitkan dengan prestasi tenaga kependidikan secara terbuka, sehingga mereka memiliki peluang untuk meraihnya. Kepala sekolah harus berusaha menggunakan penghargaan ini secara tepat, efektif, dan efesien, untuk menghindari dampak negatif yang bisa ditimbulkannya.


7. Kepala Sekolah sebagai Educator ( pendidik )
Upaya yang dapat dilakukan kepala sekolah dalam meningkatkan kinerjanya sebagai educator, khususnya dalam peningkatan kinerja tenaga kependidikan dan prestasinya belajar peserta didik dapat dideskripsikan sebagai berikut :
a. Mengikut sertakan guru – guru dalam penataran – penataran, untuk menambah wawasan para guru. Kepala sekolah juga harus memberikan kesempatan kepada guru – guru untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dengan belajar kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Misalnya memberikan kesempatan bagi para guru yang belum mencapai jenjang sarjana untuk mengikuti kuliah di Universitas terdekat dengan sekolah, yang pelaksanaannya tidak mengganggu kegiatan pembelajaran. Kepala sekolah harus berusaha untuk mencari beasiswa bagi para guru yang melanjutkan pendidikan, melalui kerjasama dengan masyarakat, dengan dunia usaha atau kerjasama lain yang tidak mengikat.
b. Kepala sekolah harus berusaha menggerakkan tim evaluasi hasil belajar peserta didik untuk lebih giat bekerja, kemudian hasilnya diumumkan secara terbuka dan diperlihatkan dipapan pengumuman. Hal yang bermanfaat untuk memotivasi para peserta didik agar lebih giat belajar dan menigkatkan prestasinya.
c. Menggunakan waktu belajar secara efektif di sekolah, dengan cara mendorong para guru untuk memulai dan mengakhiri pembelajaran sesuai waktu yang telah ditentukan, serta memanfaatkannya secara efektif dan efesien untuk kepentingan pembelajaran.
Selain itu yang perlu diperhatikan oleh kepala sekolah sebagai educator ( pendidik ) adalah mencakup 2 hal pokok yaitu, sasaran/kepada siap perilaku peranan pendidik diarahkan, yang kedua adalah bagaimana peranan pendidik itu dilaksanakan.
Ada tiga kelompok sasaran utama yaitu : para guru, staf dan kelompok para siswa. Tiga kelompok diatas merupakan manusia yang mempunyai unsur kejiwaan dan fisik yang berbeda-beda ( ketidaksamaan ). Meskipun para guru, staf dan para siswa menuntut kepala sekolah untuk bisa bersikap arif dan teliti. Dan perbedaan – perbedaan itu dapat diamati dari berbagai gejala : tingkat kematangan, latar belakang pendidikan, latar belakang kehidupan sosial dll. Untuk menyikapi perbedaan tersebut maka kepala sekolah harus bersikap persuasi dan keteladanan.
Persuasi dalam arti kepala sekolah mampu menyakinkan melalui pendekatan secara halus, sehingga para guru merasa perlu dan menganggap penting nilai-nilai yang terkandung dalam aspek mental, moral, fisik dan estetika kedalam kehidupan seseorang maupun kelompok.
Keteladanan berarti hal – hal yang perlu dicontoh yang ditampilkan oleh kepala sekolah melalui sikap, perbuatan dan perilaku.
Dengan melihat uraian diatas dapat disimpulkan juga bahwa kepala sekolah sebagai seorang pendidik adalah mampu menanamkan, mmajukan dan menigkatkan paling tidak 4 nilai yaitu :
a. Mental : hal – hal yang berkaitan dengan sikap batin dan watak manusia
b. Moral : hal – hal yang berkaitan dengan ajaran baik buruk perbuatan.
c. Fisik : hal – hal yang berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan dan penampilan manusia secara lahiriyah.
d. Estetika : hal – hal yang berhubungan dengan kepekaan manusia terhadap seni dan keindahan.
































BAGIAN VIII
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB WAKIL KEPALA DAN
STAF SEKOLAH DALAM ORGANISASI KEPENDIDIKAN

A. Tugas dan Tanggung Jawab Wakil Kelapa Sekolah
1. Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum
Membantu kepala sekolah dalam kegiatan sebagai berikut,
a. Menyusun program pengajaran
b. Menyusun pembagian tugas guru
c. Menyusun kalender pendidikan dan time schedule kegiatan
d. Menyusu jadwal pelajaran
e. Menyusun jadwal evaluasi belajar
f. Menyusun pelaksanaan ujian akhir
g. Menetapkan kriteria penyataan naik kelas/tidak naik kelas
h. Menerapkan jadwal penerimaan buku laporan pendidikan (raport) dan penerimaan
STTTB/Ijazah
i. Mengkoordinasikan dan mengarahkan dalam penyusunan materi pembelajaran
j. Menyediakan buku kenaikan kelas
k. Memonitor jalannya KBM
l. Mendorong prestasi akademik siswa
m. Mengadakan supervisi kelas
n. Menyusun laporan pelaksanaan pelajaran/target kurikulum
2. Wakil Kepala Sekolah Urusan Kesiswaan
a. Menyusun program pembinaan kesiswaan/OSIS
b. Melaksanakan bimbingan pengarahan dan pengendalian kegiatan siswa/ OSIS dalam
rangka menegakan disiplin dan tata tertib sekolah
c. Membina dan melaksanakan koordinasi keamanan, kebersihan, ketertiban, keindahan,
kerindangan dan kekeluargaan
d. Memberikan pengarahan dalam pemilihan pengurus OSIS
e. Melakukan pembinaan pengurus OSIS dalam berorganisasi
f. Menyusun program dalam pembinaan siswa secara berkala dan insidental
g. Mengkoordinasikan pemilihan calon siswa teladan dan calon siswa penerima beasiswa
h. Mengadakan pemilihan siswa untuk mewaili sekolah dalam kegiatan di luar sekolah
i. Mengatur mutasi siswa
j. Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan kesiswaan secara berkala

3. Wakil Kepala Sekolah dalam Hubungan Kerja Sama dengan Masyarakat (HUMAS)
a. Mengatur dan menyelenggarakan hubungan sekolah dengan orang tua/wali siswa dan
masyarakat
b. Membina hubungan antara sekolah dengan komite sekolah
c. Menyusun dan merencanakan rapat dinas di sekolah
d. Mewakili kepala sekolah untuk menghadiri undangan-undangan
e. Menyusun p0embagian tugas pelaksana upacara bendara dan tugas piket harian
f. Mendampingi wali kelas dan BP/BK dalam pelaksanaan home visit
g. Mengkoordinasikan hubugan kekeluargaan sekolah
h. Menyusun laporan pelakasanaan hubungan masyarakat secara berkala
4. Wakil Kepala Sekolah Urusan Srana
a. Menyusun rencana kegiatan kebutuhan sarana dan kelayakan prasarana sekolah beserta
pembiayaan
b. Mengadministrasikan pendayagunaan sarana prasarana (menginventarisasi)
c. Mengawasi dan membimbing tenaga pesuruh dalam memeliharaan kebersihan,
keamanan dan keindahan sekolah secara berkala
d. Mengamankan barang inventaris sekolah
e. Menyusunan laporan pelaksanaan urusan sarana dan prasarana secara berkala
5. Kepala Perpustakaan
a. Memfasilitasi kebutuhan media pembelajaran kepada guru seperti alat-alat peraga (chart,
penggaris, peta, globe, cd pembelajaran, VCD, DVD dan TV)
b. Mengoptimalkan fungsi perpustakaan dalam bentuk menambah jam buka ruangan dan
layanan peminjaman (memotivasi minat baca siswa )
c. Menginventarisir buku-buku perpustakaan
d. Mengawasi keluar masuknya buku dari peminjam
e. Mengoptimalkan pembuatan katalog
f. Mengoptimalkan penyusunan atau penempatan buku-buku sesuai dengan peruntukannya
h. Mengoptimalkan pengarsipan koran dan majalah
j. Menyusunan laporan kegiatan perpustakaan secara berkala
6. Koordinator Bimbimbingan Karir (BK)
a. Penyusunan program dan pelaksanaan bimbingan penyuluhan atau bimbingan karir
b. Koordinasi dengan wali kelas dan urusan kesiswaan dalam rangka mengatasi
masalah-masalah yang dihadapi siswa (kesulitan belajar dan kenakalan siswa)
c. Memberikan layanan bimbingan penyuluhan kepada siswa agar lebih berprestasi dalam
kegiatan belajar
d. Memberikan layanan bimbingan penyuluhan kepada siswa dalam memperoleh gambaran
tentang lanjutan pendidikan dan pelaksanaan bimbingan penyuluhan tentang pekerjaan yang
sesuai
e. Mengadakan penilaian pelaksanaan bimbingan penyuluhan atau bimbingan karir
f. Menyusun statistik hasil penilaian bimbingan penyuluhan atau bimbingan karir
g. Melaksanakan kegiatan analisis hasil evaluasi belajar praktik atau pelaksanaan
bimbingan dan penyuluhan
h. Menyusun dan melaksanakan program tindak lanjut bimbingan penyuluhan atau
bimbingan karir
i. Melakukan home visit secara berkala
j. Memfasilitasi siswa yang akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan dunia kerja
k. Menyusun laporan pelaksanaan bimbingan penyuluhan atau bimbingan karir
7. Kepala Laboratorium Komputer
a. Menyusun rencana penggunaan dan pemeliharaan laboratorium komputer
b. Menyusun rencana pengembangan laboratorium komputer untuk peningkatan mutu
pembelajaran dan efisiensi administrasi sekolah (SIM dan WEB Sekolah)
c. Mempersiapkan alat, media dan sumber belajar yang tersedia di laboratorium untuk
digunakan pada pembelajaran
d. Membantu dan membimbing guru mata pelajaran yang menggunakan laboratorium
komputer
e. Membantu dan membimbing staf tata laksana dalam pemanfaatan Teknologi dan
Informasi
f. Mengkoordinasikan pemanfaatan Teknologi Informasi untuk kegiatan pembelajaran,
kedinasan dan hubungan dengan instansi terkait (NUPTK, NISN, NPSN, e-mail, Jardiknas, ICT dll)
g. Menyusun laporan pelaksanaan program secara berkala

B. Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Secara umum dewan guru sebagai pendidik/pengajar mempunyai tugas dan tanggung jawab sbb:
1. Membuat program pengajaran/rencana kegiatan per semester dan tahunan
2. Membuat satuan pelajaran/persiapan mengajar
3. Melaksanakan kegiatan belajar mengajar
4. Melaksanakan kegiatan penilaian per semester dan tahunan
5. Mengisi daftar nilai siswa
6. Melaksanakan analisis hasil evaluasi belajar
7. Menyusun dan melaksanakan program perbaikan dan pengayaan
8. Melaksanakan kegiatan membimbing guru dalam kegiatan proses belajar mengajar
9. Membuat alat pelajaran/alat peragam
10. Menciptakan karya seni
11. Mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum
12. Melaksanakan kegiatan tertentu di sekolah
13. Mengadakan pengembangan setiap bidang pengajaran yang menjadi tanggung
jawabnya
14. Membuat lembar kerja siswa
15. Membuat catatan tentang kemajuan hasil belajar masing-masing siswa
16. Meneliti daftar hadir siswa sebelum memulai pelajaran
17. Mengatur kebersihan ruang kelas dan ruang praktikum
18. Mengumpulkan dan menghitung angka kredit untuk kenaikan pangkatnya

C. Tugas dan Tanggung Jawab Guru Sebagai Wali Jelas.
Para guru yang merangkap menjadi wali kelas mempunyai tugas dan tanggung jawab sbb:
1. Pengelolaan Kelas
2. Penyusunan/pembuatan statistik bulanan siswa
3. Pengisian daftar nilai siswa (legger)
4. Pembuatan catatan khusus tentang siswa (siswa berprestasi, siswa berprilaku khusus
dan rawan DO)
5. Pencatatan mutasi siswa
6. Pengisian dan pembagian buku laporan pendidikan (rapor)
7. Penyelenggaraan administrasi kelas, yaitu ;
- Denah tempat duduk siswa
- Papan absen siswa
- Daftar pelajaran kelas
- Buku absen siswa
- Daftar piket kelas
- Buku kegiatan belajar mengajar
- Tata tertib kelas

D. Tugas dan Tanggung Jawab Guru Piket Harian.
Guru yang diberi tugas untuk piket harian mempunyai tugas dan tanggung jawan sbb:
1. Melayani siswa untuk memberikan ijin masuk bagi yang terlambat dan ijin keluar bagi
yang berkepentingan/sakit
2. Memberikan arahan bagi siswa yang terlambat masuk kelas
3. Mengontrol kehadiran siswa tiap kelas
4. Menyampaikan dan mengawasi tugas-tugas dari guru yang tidak hadir
5. Menerima tamu sekolah dan dikoordinasikan dengan para wakasek

E. Tugas dan Tanggung Jawab Guru Piket Harian Tata Laksana.
1. Menerima dan melayani tamu sekolah
2. Mengisi buku jadwal piket untuk kehadiran guru dan tata usaha
3. Merekap kehadiran siswa
4. Ikut membantu dalam pelaksanaan guru piket
5. Ikut mengkondisikan K3 di lingkungan sekolah

E. Tugas dan Tanggung Jawab Kepala Tata Usaha (TU).
1. Penyusunan program ketatalaksanaan
2. Pengelolaan keuangan sekolah
3. Pengurusan administrasi pegawai, guru dan siswa
4. Pembinaan dan pengembangan karir pegawai tata laksana
5. Penyusunan administrasi sekolah
6. Penyusunan dan penyajian data statistik sekolah
7. Mengkoordinasikan dan melaksanakan K6
8. Penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan ketatalaksanaan secara berkala
















BAGIAN IX
MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

A. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS)
Sekolah adalah lembaga atau organisasi kependidikan yang merupakan wadah pembinaan peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, cerdas, terampil, berudi pekerti, bertanggung jawab dan sejenisnya, sehingga mereka mampu menyelesaikan tugas hidupnya sebagai manusia secara pribadi di dalam keluarga dan masyarakatnya.
Menurut M Ihsan Dacholfany M.Ed, Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gordon tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah. Dalam perkembangan istilah tersebut menjadi Manajemen Peningkatan Mutu Berasis Sekolah (MPMBS)
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Tujuan utama adalah untuk mengembangkan prosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. Sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adalah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota-anggota masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarakat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan. Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.

1. Konsep Dasar Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah
Istilah manajemen sekolah seringkali disamakan dengan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda;
Pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi);
Kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan
Ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Istilah manajemen diartikan sama dengan administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan yang lebih bermutu di sekolah secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
a. Merencanakan (planning),
b. Mengorganisasikan (organizing),
c. Mengarahkan (directing),
d. Mengkoordinasikan (coordinating),
e. Mengawasi (controlling), dan
f. Mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sistemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Akhir-akhir ini, kita mendengar istilah pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang sering disebut dengan istilah Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah yang disngkat (MPBS). Dibeberapa negara maju, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya sudah diterapkan dalam pengelolaan pendidikan sudah cukup lama. Pada 1988, American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Ada pandangan bahwa para pengelola sekolah, terutama kepala sekolah merasa tidak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam penanganan sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah sebagai tangan panjang birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengorganisasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan di sekolah dilakukan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.
Isi dan muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya.
Ada kecurigaan, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pengelolaan pendidikan pada level yang paling operasional, yaitu sekolah.
MPBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MPBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen pendidikan berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen pendidikan berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen pendidikan berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah
2. Manfaat Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah
MPBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MPBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MPBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MPBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MPBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MPBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MPBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MPBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MPBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MPBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MPBS sebagai berikut :
a. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
b. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
c. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
d. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
e. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
f. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
3. Pengaruh Penerapan MPBS
Penerapan MPBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MPBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MPBS adalah ancaman besar.
MPBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mencakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan bantuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah, ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah.
Dalam rangka penerapan MPBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.
Dalam hampir semua model MPBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.
Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan efisiensi.
4. Ketentuan Penerapan Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MPBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MPBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
Dengan kata lain, penerapan MPBS mensyaratkan yang berikut.
a. MPBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
b. MPBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MPBS secara berhasil.
c. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
d. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
e. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
5. Permasalahan Penerapan Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah
Beberapa permaslahan atau hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MPBS adalah sebagai berikut :
a. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
b. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
c. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
d. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
e. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MPBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
e. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MPBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MPBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MPBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
6. Strategi Penerapan Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah
Konsep MPBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MPBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
a. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MPBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MPBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
b. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
c. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MPBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
d. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MPBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MPBS.

B. Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat (MPBM)
Konsep MPBM adalah: dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat (Sihombing, U., 2001). Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa MPBM adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek MPBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat.

Dengan demikian tenaga pendidikan (pihak-pihak terkait) harus melakukan akuntabilitas (pertanggungjawaban) kepada masyarakat. Menurut Sagala, S., 2004 akuntabilitas dapat mengembangkan persatuan bangsa serta menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi masyarakat. Pengembangan akuntabilitas terhadap masyarakat akan menumbuhkan inovasi dan otonomi dan menjadikan pendidikan berbasis pada masyarakat (community based education).
Untuk mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila kita lihat mutu pendidikan di negara kita saat ini masih menghadapi beberapa problematika. Beberapa problem mengenai mutu pendidikan kita seperti yang diungkapkan DR. Arief Rahman dalam Mukhlishah, 2002 adalah:
1. Pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya
2. Malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran.
3. Pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.
Sedangkan menurut Surya, M., 2002 salah satu problematika pendidikan di Indonesia adalah keterbatasan anggaran dan sarana pendidikan, sehingga kinerja pendidikan tidak berjalan dengan optimal.
Persoalan tersebut menjadi lebih komplek jika kita kaitkan dengan penumpukan lulusan karena tidak terserap oleh masyarakat atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi mereka. Mutu dan hasil pendidikan tidak memenuhui harapan dan kebutuhan masyarakat atau mempunyai daya saing yang rendah.
Contoh Indikator yang menunjukkkan rendahnya mutu hasil pendidikan kita adalah kepekaan sosial alumni sistem pendidikan terhadap persoalan masyarakat yang seharusnya menjadi konsentrasi utama mereka, seperti:
1. Alumni kedokteran tidak menunjukkan kepekaan sosial terhadap maraknya wabah demam berdarah, sehingga lonjakan wabah tersebut di beberapa daerah harus dibarengi dengan ironi kekurangan tenaga medik dan paramedic.
2. Kesulitan untuk mencari guru mengaji di sebagian besar masjid-masjid kota di daerah selitih Indonesia, padahal lulusan UIN, IAIN, STAIN dan PTAIS tersebar di berbagai daerah.
3. Sangat ironis terjadi bagi masyarakat Indonesia kekurangan tenaga dan ahli pertanian sehingga banyak areal pertanian terbengkalai atau salah urus, mengingat Untan dan IPB meluluskan ratusan sarjana pertanian setiap tahunnya.
Kisah-kisah ironis tersebut menggambarkan secara jelas bahwa kompetensi moral dan kompetensi sosial SDM keluaran sistem pendidikan kita sangat tidak compatible dengan tuntutan dunia kerja di dalam masyarakatnya. Sistem pendidikan tidak menjadikan masyarakat sebagai dasar prosesualnya dan tidak berakar pada sosial budaya yang ada. Pendidikan berjalan di luar alam sosial budaya masyarakatnya, sehingga segala yang ditanamkan (dilatensikan) melalui proses pendidikan merupakan hal-hal yang tidak bersentuhan dengan persoalan kehidupan nyata yang dihadapi masyarakat tersebut.
Implikasinya adalah terputus mata rantai budaya sosial antara satu generasi dengan generasi berikutnya. Generasi yang lebih muda menjadi tidak mampu mewarisi dan mengembangkan bangunan budaya sosial yang dikonstruksi oleh generasi pendahulunya, bahkan tidak mampu mengapresiasi dan seringkali berperilaku yang cenderung berakibat mengenyahkannya. Generasi seperti ini cenderung hanya mampu melihat kekurangan-kekurangan pendahulunya, tanpa menawarkan jalan keluar dan penyelesaiannya. Kisah yang sangat biasa bagi orang pribumi yang kaya raya dari hasil usaha dan bisnisnya, anak mereka menghancurkan perusahaan dan menghabiskan kekayaan untuk berfoya-foya. Hal seperti ini tidak terjadi pada tradisi etnis tionghoa, dimana yang kaya akan menjadi lebih kaya karena putra-putrinya dipersiapkan untuk menjadi pewaris yang mampu mengembangkan bisnis yang dirintis oleh kedua orang tuanya. Misalnya dengan membiasakan anaknya magang di setiap outlet orang tua dan memperoleh perlakuan seperti layaknya pegawai, dengan demikian mereka mempunyai akselerasi belajar yang jauh lebih tinggi karena segala pelajaran yang diperoleh di sekolah memperoleh penguatan melalui aktivitas praktis yang dijalaninya.
Sementara itu kita juga tengah menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan disepakatinya kawasan perdagangan bebas. Sejak 1 Januari 2003 secara Internasional dimulai AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area). Akibatnya terjadi perubahan pada berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, demografi, Sumber Daya Alam, dan geografi yang akan berpengaruh pada skala global, regional dan nasional. Secara Nasional dapat kita lihat dengan banyaknya pengangguran, kemiskinan, narkoba, pariwisata, dan demokrasi. Dengan demikian pendidikan harus secara akif berperan mengatasi dampak negatif dari era globalisasi dan mempersiapkan Sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang mampu bersaing dengan SDM dari negara lain.
Terobosan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mencanangkan Kurikulum 2004 Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dengan kurikulum ini materi pelajaran ditentukan oleh sekolah berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pusat hanya menetapkan materi pokok (esensial). Target guru tidak untuk menyampaikan semua materi pelajaran tetapi memberikan pengalaman belajar untuk mencapai kompetensi dan berfokus pada aspek kognitif, psikomotor dan afektif (Sudjatmiko dan Nurlaili, L., 2004). Oleh karena itu dengan melaksanakan KBK secara optimal diharapkan output pendidikan dapat sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sebagai akuntabilitas pendidikan kepada masyarakat sesuai dengan konsep MPBM.
Sejalan dengan dicanangkannya KBK, pemerintah juga melakukan pembaharuan manajemen sekolah dengan mengeluarkan kebijakan agar sekolah menerapkan Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS). MPBS adalah model manajemen yang memberikan keleluasaan / kewenangan kepada sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri dengan meningkatkan keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah dengan tetap memperhatikan standar pendidikan nasional (Irawan, A., 2004). MPBS merupakan salah satu pendidikan berbasis masyarakat yang dilaksanakan dalam pendidikan formal.
Pendidikan kita selama ini memandang sekolah sebagai tempat untuk menyerahkan anak didik sepenuhnya. Sekolah dianggap sebagai tempat segala ilmu pengetahuan dan diajarkan kepada anak didik. Cara pandang ini sangat keliru mengingat sistem pendidikan juga harus dikembangkan di keluarga. Sekolah hanyalah sebagai instrumen untuk memperluas cakupan dan memperdalam intensitas penanaman cita-cita sosial budaya yang tidak mungkin lagi dikembangkan melalui mekanisme keluarga (Mukhlishah, 2002).
Memulai kembali menata pendidikan dengan mempertahankan fungsi keluarga dan masyarakat sebagau basis pendidikan di sekolah bukan lagi ide untuk masa depan tetapi menjadi tuntutan yang sangat mendesak. Upaya ini akan menjadi cara untuk mengembalikan sistem pendidikan kita kepada hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang hakiki adalah suatu langkah prosedural yang bertujuan untuk melatenkan kemampuan sosial budaya berupa program-program kolektif alam pikir, alam rasa, dan tradisi tindak manusia ke dalam pribadi dan kelompok manusia muda agar mereka siap menghadapi segala kemungkinan yang timbul di masa datang.
Karena itu diperlukan partisipasi semua elemen (stakeholder) terutama orang tua dan masyarakat. Untuk mengoptimalkan peran masyarakat dalam peningkatan mutu pendidikan perlu dikembangkan model pendidikan berbasis masyarakat, di mana proses pendidikan tidak terlepas dari masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai basis keseluruhan kegiatan pendidikan. Semua potensi yang ada di masyarakat apabila dapat diberdayakan secara sistemik, sinergik dan simbiotik, melalui proses yang konsepsional, dapat dijadikan sebagai upaya yang strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Menurut Darwin Rahardjo dalam Surya, M., 2002 masyarakat modern mempunyai tiga sektor yang saling berinteraksi yaitu sektor pemerintah, dunia usaha dan sektor sukarela (LSM). Ketiga sektor masyarakat tersebut harus mempunyai posisi tawar menawar dan kemandirian sehingga menghasilkan kerjasama yang sinergik dan simbiotik dalam mencapai tujuan bersama. Hal tersebut dapat dijadikan kerangka berfikir dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam satu gugus sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan.

C. Manajmen Pendidikan Berbasis Teknologi Informasi
Dewasa ini perkembangan dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telahberjalan dengan sangat pesat. Berbagai kemudahan memperoleh informasi dari berbagai penjuru dunia dalam hitungan detik, yang pada “zaman batu“ dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin, kini telah menjadi kenyataan. Dengan teknologi yang luas ini hanyalah sebuah desa yang global yang kecil, through ICT this big world is only a global little village. Dalam dunia pendidikan di Indonesia, sudah saatnya kita memanfaatkan teknologi informasi tersebut. Teknologi informasi akan memberikan nilai tambah dalam proses pembelajaran. Hal ini berkaitan dengan semakin tingginya kebutuhan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak semuanya diperoleh dalam lingkungan sekolah.
Dalam pemanfaatan teknologi informasi diharapkan tingkat daya pikir serta kreativitas guru dan siswa serta masyarakat dapat berkembang dengan pesat. Seorang guru akan dengan mudah mencari bahan-bahan ajar yang sesuai dengan bidangnya, seorang siswa dapat mendalami ilmu yang didapatkan dengan didukung kemampuan untuk mencari informasi tambahan di luar yang diajarkan oleh guru.
Informasi yang didapat bisa diperoleh dari perpustakaan sekolah. Salah satu fungsi dari perpustakaan sekolah adalah mengembangkan pendidikan, yakni memberikan kepada pengguna untuk dapat memanfaatkan seluruh informasi yang disajikan oleh perpustakaan (Karmidi,1999:50). Untuk memenuhi kebutuhan penggunanya, perpustakaan harus menyediakan berbagai informasi dan berusaha mempertemukan antara pengguna dengan informasi yang disediakan. Perpustakaan diharapkan mampu mengikuti tuntutan dan perkembangan informasi yang ada, tampil penuh percaya diri, dan memfungsikan dirinya sebagai penyaji informasi yang andal.
Fungsi, peran, dan usaha perpustakaan hingga kini tampaknya belum dapat diraih dan terpenuhi sebagaimana mestinya. Hal itu dapat ditunjukkan dengan masih saja ada keluhan para pengguna perpustakaan, yang masih kecewa karena pelayanan yang tidak memuaskan, lantaran informasi yang dibutuhkan tidak tersedia di perpustakaan.
Perpustakaan yang dikatakan sebagai jantungnya dunia pendidikan masih sakit dan belum
kunjung sembuh. Sekilas Kegiatan Pelayanan Perpustakaan Sekolah Kegiatan pelayanan perpustakaan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi penyedia layanan dan dari sisi pemakai layanan. Dari sisi penyedia layanan, kegiatan pelayanan perpustakaan meliputi:
1. Pengadaan pustaka: pembelian, pelangganan, pencarian/pengumpulan.
2. Penyiapan pustaka: antara lain, pemberian label, dan katalogosasi.
3. Pemberian layanan: antara lain, penempatan pustaka di rak, pengeluaran pustaka untuk dipinjamkan (sirkulasi), dan seringkali pula: mencarikan pustaka atas permintaan pengguna layanan.
4. Pemeliharaan pustaka: perbaikan dari kerusakan, pemeliharaan agar tidak rusak, penyimpanan dalam media lain (misal: dari buku ke CD-ROM).
Selain itu, penyedia layanan juga menyediakan ruang beserta sarana-prasarana yang diperlukan untuk kegiatan penggunaan layanan perpustakaan. Dari sisi pengguna layanan, terdapat beberapa kegiatan sebagai berikut:
1. Mencari pustaka: mencari dari katalog, menelusuri rak-rak buku.
2. Membaca/memanfaatkan pustaka (di ruang perpustakaan)
3. Meminjamkan pustaka (untuk dibawa ke luar perpustakaan)
Seringkali pengguna layanan juga melakukan kegiatan menyalin isi pustaka dengan cara menulis di buku catatannya atau mengfotokopi isi pustaka. Selain itu, sering pula pengguna layanan meminta bantuan staf perpustakaan untuk mencari pustaka. Pustaka yang dimaksud di atas meliputi media cetak (antara lain: buku, majalah, surat kabar), media elektronis (antara lain: berkas elektronis di disk, CD, internet) dan media foto/slide.
1. Perkembangan Sistem Komputer Perpustakaan Sekolah
Dalam laporannya pada tahun 1972, Line mengemukakan dua alasan yang berkaitan dengan pengembangan system computer di perpustakaan, yaitu penyediaan jasa dengan biaya yang murah dan perolehan keuntungan dengan pengeluaran yang minimal.
Pengembangan sistem tersebut memungkinkan penyediaan akses pada online catalog di perpustakaan dan penelusuran yang luas pada literatur-literatur tertentu yang sudah tersimpan dalam CD-ROM serta kemampuan untuk pembuatan informasi manajemen. Pengembangan system computer adalah untuk menyediakan suatu system standar yang bisa dipakai bersama di antara perpustakaan yang bekerja sama. Alasan lain adalah dengan system berbasis computer, tugas-tugas yang diemban oleh perpustakaan dapat diselesaikan secara lebih akurat, cepat, dan terkontrol. Seperti dijelaskan di atas, teknologi informasi merupakan gabungan antara teknologi komputer dan teknologi komunikasi data.
Teknologi komputer, secara umum, dapat dikatakan terdiri dari perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Perangkat keras terdiri dari:
a. Peralatan pemasukan data (input): antara lain, keyboard, bar code scanner
b. Peralatan pengolahan data (processor): CPU (Central Processing Unit)
c. Peralatan penampilan keluaran data (output): layar/monitor, pencetak/printer
d. Penyimpanan data (storage): disket, hardisk, CD.
Kemajuan teknologi perangkat keras cenderung menuju pengecilan ukuran perangkatn keras, tetapi dibarengi oleh peningkatan kecepatan pengolahan dan penampilan data serta pelipatgandaan kapasitas penyimpanan. Selain itu, harga semakin relatif lebih murah. Untuk mengendalikan perangkat keras diperlukan perangkat lunak. Secara umum, perangkat lunak dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu yang pertama: kelompok aplikasi umum, dan yang kedua: aplikasi khusus. Aplikasi umum digunakan oleh “semua” kegiatan, antara lain meliputi:
a. Perangkat lunak pengolah kata (word processor): untuk menyusun dokumen tertulis/naratif.
b. Perangkat lunak pengolah angka (spreadsheet): untuk melakukan perhitungan dan membuat grafik dari hitungan.
c. Perangkat lunak pengolah data (database): untuk melakukan pemasukan, pengolahan, pengorganisasian, penyimpanan dan pengambilan kembali data, secara cepat dan akurat.
d. Perangkat lunak pengolah gambar: untuk membuat gambar dan mengolah foto menjadi gambar elektronis yang mudah diubah-ubah.
e. Perangkat lunak presentasi multimedia.
Selain aplikasi yang umum, banyak terdapat pula aplikasi yang khusus dibuat untuk kegiatan tertentu, misal: perangkat lunak sirkulasi pustaka. Data kepustakaan pada saat ini dapat diakses dari jarak jauh lewat kabel atau udarra (gelombang radio) dengan memanfaatkan teknologi komunikasi. Dengan berbekal komputer dan modem serta sambungan telpon, seseorang dapat menelusuri kepustakaan besar di dunia dari jarak jauh (dengan fasilitas internet). Akses dengan teknologi komunikasi semakin cepat dan berkapasitas semakin besar yang memungkinkan pengiriman gambar secara multi media dan interaktif.
2. Perkembangan Teknologi Perpustakaan Sekolah di Indonesia
Dalam konteksi Indonesia, teknologi informasi baru mulai berkembang satu setengah dasawarsa terakhir, sedangkan pada perpustakaan baru terlihat secara signifikan pada paro terakhir tahun 1990-an. Pada pertengahan tahun 1990-an jumlah perpustakaan yang memanfaatkan untuk pembuatan catalog tercetak juga masih sangat sedikit. Hal yang sangat menggembirakan adalah respons teknologi yang dikembangkan oleh perpustakaan IPB Bogor. Ia mengembangkan perangkat lunak CDS/ISIS dengan berbagai proses modifikasi yang selanjutnya mengadakan kerjasama pemasangan system perangkat lunak tersebut.
Era tahun 2002-an, perkembangan dan kemajuan teknologi yang pesat menantang pustakawan dan staf perpustakaan ataupun pusat-pusat informasi untuk berbenah diri. Karena tanpa respons yang positif terhadap teknologi, mereka akan ditinggalkan oleh pemakai dan tergilas oleh derasnya informasi. Sebagian besar perpustakaan, baik perpustakaan umum, sekolah, perguruan tinggi, dan perpustakaan khusus telah membuka jaringan internet yang memungkinkan akses ke seluruh dunia dan melakukan diskusi ataupun seminar jarak jauh. Hal ini juga terkait dengan banyaknya perpustakaan sekolah pada era teknologi ini memanfaatkan beberapa perangkat lunak yang ada digunakan untuk system pelayanan. Sistem pelayanan yang cepat, mudah dan akurat dapat membantu para pemakai.
3. Pelayanan Perpustakaan didukung Kemajuan Teknologi Informasi
Perkembangan teknologi saat ini sangat besar pengaruhya terhadap individu maupun organisasi dalam mengakses informasi. Fasilitas jaringan (network) nasional dan internasional berkembang dengan pesat. Information superhighway yang dibangun di seluruh dunia dapat menghubungkan pemakai pada layanan informasi digital melalui jaringan telekomunikasi global. Hal itu berimbas pada cakupan kerja perpustakaan. Ragam akseske layanan perpustakaan tidak lagi dibatasi oleh jarak dan memungkinkan untuk banyak orang.
Seperti dijelaskan dimuka, kegiatan pelayanan perpustakaan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi penyedia layanan dan dari sisi pemakai layanan. Pada kedua sisi dibahas pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung tiap kegiatan. Dari sisi penyedia layanan, pemanfaatan kemajuan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan pelayanan perpustakaan meliputi:
a. Pengadaan bahan pustaka: pembelian, pelangganan, pencarian / pengumpulan
Pencarian informasi pustaka yang dijual oleh penerbit di dunia dapat dilakukan lewat akses internet; demikian juga, pemesanan maupun pembelian/pembayarannya dapat dilakukan lewat internet.
b. Penyiapan pustaka: antara lain, pemberian label dan katalogisasi
Penyiapan pustaka dapat lebih lancar dan terintegrasi dengan memanfaatkan perangkat lunak umum (olah kata dan olah angka) maupun dengan perangkat lunak yang khusus dibuat untuk mendukung pengolahan pustaka.
c. Pemberian layanan
Pemberial layanan sirkulasi dan pencarian pustaka dapat didukung oleh suatu sistem informasi yang khusus dibuat untuk itu.
d. Pemeliharaan pustaka
Penyimpanan pustaka dari bentuk buku ke dalam media berupa CD dapat dilakukan dengan teknologi komputer.
Dalam era informasi, perpustakaan perlu mempunyai ruang-ruang komputer yang dilengkapi dengan jaringan komunikasi data (LAN dan akses internet) serta CD-ROM berisi informasi pustaka.
Dari sisi pengguna layanan, kemajuan teknologi informasi perlu dimanfaatkan untuk mendukung beberapa kegiatan sebagai berikut:
a. Pencarian pustaka lewat katalog dapat dilakukan dengan bantuan suatu sistem binformasi perpustakaan
b. Pembacaan/pemanfaatan pustaka (di ruang perpustakaan) tidak hanya dilakukan terhadap media cetak tetapi juga terhadap media elektronis (CD-ROM), disket, hardisk) dengan bantuan sistem komputer dan teknologi komunikasi data. Dengan memanfaatkan akses jarak jauh (LAN, WAN, Internet), pengguna layanan perpustakaan tidak harus berada dibangunan perpustakaan, tapi dapat berada dimanapun untuk membaca/memanfaatkan layanan perpustakaan (situasi ini biasa disebut sebagai virtual library- lihat Smith dkk, 1995).
c. Peminjaman pustaka di era informasi tidak lagi dibatasi oleh koleksi perpustakaan setempat, tapi mendunia (karena pustaka berupa berkas elektronis). Situasi seperti ini disebut sebagai library without walls. Untuk menyalin isi pustaka elektronis (CD-ROM, berkas internet) dapat dilakukan dengan mengkopinya ke disket milik pengguna.
4. Aplikasi Teknologi Informasi Sistem Perpustakaan Sekolah di masa depan
Kemajuan teknologi informasi dapat dimanfaatkan dalam layanan perpustakaan untuk lebih memperlancar, mempercepat dan mempernyaman layanan. Dengan teknologi informasi, semua koleksi pustaka di beberapa perpustakaan yang berjauhan dapat diintegrasikan sehingga mempermudah pencarian pustaka oleh pengguna dari manapun.
Selain keuntungan dari teknologi informasi di atas, beberapa hal masih perlu mendapat perhatian, antara lain:
a. Keterbatasan ketersediaan data untuk pengadaan perangkat teknologi informasi;
b. Kebiasaan membaca di kalangan kita yang belum tinggi;
c. Keterbatasan dana
Perkembangan teknologi juga membantu untuk pengembangan perpustakaan sekolah karena pertumbuhan era informasi maka perpustakaan sekolah dapat mengenal lebih pentingnya teknologidan tidak ketinggalan jauh dengan perpustakaan lainnya. Perpustakaan sekolah dapat membantu anak dalam mengembangakan ilmu dan pengetahuan.



D. Manajemen Pendidikan Berdasarkan Konsep KTSP
Kehadiran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut adanya berbagai perubahan dalam pengelolaan sekolah dan setiap perubahan harus dikelola dengan baik. Prof. Dr. Djam’an Satori, M.A. mengupas tentang manajemen perubahan kaitannya dengan implemenntasi KTSP di sekolah.
1. Konsep Visi Sekolah
Penerapan konsep manajemen strategis di sekolah menuntut setiap sekolah untuk dapat menetapkan dan mewujudkan visi yang hendak dicapai dari sekolah tersebut secara eksplisit. Namun, sayangnya upaya perumusan visi yang terjadi di sekolah-sekolah kita saat ini terkesan masih latah (stereotype) dan sekedar pengulangan dari nilai dan prioritas nasional. Dari beberapa sekolah yang pernah penulis amati, pada umumnya perumusan visi sekolah cenderung menggunakan rumusan dua kata yang hampir sama yaitu “prestasi” dan “iman-taqwa”, Memang bukahlah hal yang keliru jika sekolah hendak mengusung visi sekolah dengan merujuk pada kedua nilai tersebut. Tetapi jika perumusannya menjadi seragam, kurang spesifik serta kurang inspirasional mungkin masih patut untuk dipertanyakan kembali.
Boleh jadi, hal ini mengindikasikan adanya kesulitan tersendiri dari sekolah (pemimpin dan warga sekolah sekolah yang bersangkutan) untuk merumuskan visi yang paling tepat bagi sekolahnya, baik kesulitan yang terkait tentang pengertian dasar dari visi itu sendiri maupun kesulitan dalam mengidentifikasi dan merefleksi nilai-nilai utama yang hendak dikembangkan di sekolah.
Dalam perspektif manajemen, visi sekolah memiliki arti penting terutama berkaitan dengan keberlanjutan (sustainability) organisasi sekolah itu sendiri, Tanpa visi, organisasi dan orang-orang di dalamnya tidak mempunyai arahan yang jelas, tidak mempunyai cara yang tepat dalam melangkah ke masa depan dan tidak memiliki komitmen (Foreman, 1998).
Saat ini tidak sedikit sekolah yang berjalan secara stagnan dan bahkan terpaksa harus gulung tikar, hal ini sangat mungkin dikarenakan tidak memiliki visi yang jelas alias asal-asalan atau setidaknya tidak berusaha fokus dan konsisten terhadap visi yang dicita-citakannya.
Visi bukanlah sekedar slogan berupa kata-kata tanpa makna bahkan bukan sekedar sebuah gambaran kongkrit yang diberikan oleh pimpinan sekolah, melainkan sebuah rumusan yang dapat memberikan klarifikasi dan artikulasi seperangkat nilai (Hopkins, 1996). Menurut Block (1987), visi adalah masa depan yang dipilih, sebuah keadaan yang diinginkan dan merupakan sebuah ekspresi optimisme dalam organisasi. Bennis and Nanus (1985) mengartikan visi sebagai pandangan masa depan yang realistis, kredibel, dan menarik, yang didalamnya tergambarkan cara-cara yang lebih baik dari cara yang sudah ada sebelumnya.
Memperhatikan pendapat para ahli di atas, tampak bahwa untuk menetapkan visi sekolah kiranya tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi terlebih dahulu diperlukan pengkajian yang mendalam. Perumusan visi yang tepat harus dapat memberikan inspirasi dan memotivasi bagi seluruh warga sekolah dan masyarakat untuk bekerja dengan penuh semangat dan antusias. Menurut Blum dan Butler (1989) visi sangat identik dengan perbaikan sekolah.
Visi merupakan ciri khas peran kepemimpinan dan upaya untuk pembentukan visi sekolah sangat bergantung pada pemimpin sekolah yang bersangkutan. Dalam hal ini pemimpin sekolah dituntut untuk dapat mengidentifikasi, mengklarifikasi dan mengkomunikasikan nilai-nilai utama yang terkandung dalam visi sekolah kepada seluruh warga sekolah, agar dapat diyakini bersama dan diwujudkan dalam segala aktivitas keseharian di sekolah sehingga pada gilirannya dapat membentuk sebuah budaya sekolah.
Kendati demikian, dalam pembentukan visi sekolah tidak bisa dilakukan secara “top-down” yang bersifat memaksa warga sekolah untuk menerima gagasan dari pemimpinnya (kepala sekolah) yang hanya membuat orang atau anggota membencinya dan merasa enggan untuk berpartisipasi di dalamnya . Foreman (1998) mengingatkan bahwa visi tidak bisa dipaksakan dan dimandatkan dari atas. Pembuatan visi adalah tentang keterlibatan kepentingan dan aspirasi pihak lain.
Untuk lebih jelasnya terkait dengan upaya pembentukan visi ini, Beare et.al. (1993) menawarkan beberapa pedoman dalam pembentukan visi, yaitu:
a. Visi seorang pemimpin sekolah mencakup gambaran tentang masa depan sekolah yang diinginkan.
b. Visi akan membentuk pandangan pemimpin sekolah tentang apa yang menyebabkan keutamaan atau keunggulan sekolah.
c. Visi seorang pemimpin sekolah juga mencakup gambaran masa depan sekolah yang diinginkan di mata sekolah lain dan masyarakat secara umum.
d. Visi seorang pemimpin juga mencakup gambaran proses perubahan yang diinginkan berdasarkan masa depan terbaik yang hendak dicapai.
e. Masing-masing aspek visi pendidikan dalam sekolah merefleksikan asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan yang berbeda-beda tentang:
(1) watak dan sifat manusia;
(2) tujuan pendidikan dalam sekolah;
(3) peran pemerintah, keluarga, masyarakat terhadap pendidikan dalam sekolah;
(4) pendekatan-pendekatan dalam pengajaran dan pembelajaran; dan
(5) pendekatan-pendekatan terhadap manajemen perubahan.
Dengan demikian, akan terbentuk visi pendidikan dalam sekolah yang kompetitif dan merefleksikan banyak hal yang mencakup perbedaan-perbedaan asumsi, nilai dan keyakinan.
2. Rencana Pengembangan Sekolah
Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) merupakan salah satu wujud dari salah satu fungsi manajemen sekolah yang amat penting, yang harus dimiliki sekolah untuk dijadikan sebagai panduan dalam menyelenggarakan pendidikan di sekolah, baik untuk jangka panjang (20 tahun), menengah (5 tahun) maupun pendek (satu tahun)
Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) memiliki fungsi amat penting guna memberi arah dan bimbingan bagi para pelaku sekolah dalam rangka pencapaian tujuan sekolah yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan
Standar Nasional Pendidikan ( standar kelulusan, kurikulum, proses, pendidikan dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, pengelolaan, dan penilaian pendidikan) merupakan substansi penting dalam sistem pengelolaan sekolah yang harus direncanakan sebaik-baiknya dan diakomodir dalam penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah.
Atas dasar itu, Depdiknas telah menyiapkan sebuah panduan teknis bagi sekolah dalam penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah.
3. Analisis Situasi Sekolah dalam Pengembangan KTSP
a. Rasional
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing sekolah. KTSP ini dikembangkan sesuai dengan tuntutan otonomi pendidikan. Pengembangan KTSP oleh sekolah sesuai dengan situasi dan konteks yang dimilikinya. Akan tetapi, sekolah tetap harus mengacu pada lingkup standar nasional pendidikan yang ada, sesuai dengan PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Keleluasaan sekolah dalam mengembangkan KTSP tentu harus diikuti dengan analasis situasi sekolah untuk mencapai lingkup standar nasional pendidikan yang sudah ditetapkan, di antaranya Standar Isi (SI)dalam Permendiknas no 22 tahun 2006 dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dalam Permendiknas no 23 tahun 2006. Hasil analisis tersebut merupakan dasar pijakan untuk menentukan kedalaman dan keluasan target-target yang ditetapkan, budaya yang akan dibangun, tujuan yang ingin dicapai, serta isi dan bahan pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan bermutu di sekolah tersebut. Pencapaian tujuan pendidikan bermutu tersebut sesuai dengan UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 pasal 5, yaitu “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.
Penyusunan dan pengembangan KTSP merupakan bagian dari kegiatan perencanaan sekolah/madrasah. Kegiatan ini dapat berbentuk rapat kerja dan/atau lokakarya sekolah/madrasah dan/atau kelompok sekolah/madrasah yang diselenggarakan dalam jangka waktu sebelum tahun pelajaran baru (BSNP, 2006: 33). Tahap kegiatan penyusunan KTSP secara garis besar meliputi: analisis sekolah, penyiapan dan penyusunan draf, reviu dan revisi, serta finalisasi, pemantapan dan penilaian (cf. BSNP, 2006: 33).

b. Tujuan
Tujuan Analisis Situasi Sekolah adalah (1) memperoleh gambaran nyata kondisi sekolah dan (2) memperoleh gambaran nyata situasi sekolah
c. Analisis Konteks
Analisis konteks dalam pelaksanaan penyusunan KTSP berwujud evaluasi diri (self evaluation) terhadap sekolah. Hal itu dapat dilakukan dengan menerapkan pendekatan SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats ). Dalam hal ini dapat diterapkan kajian lingkungan internal untuk memahami strengths atau kekuatan dan weaknesses atau kelemahan, serta kajian lingkungan eksternal untuk mengungkap opportunities atau peluang dan threats atau tantangan. Adapun analisis konteks melalui SWOT terdiri atas hal-hal sebagai berikut (cf. BSNP, 2006: 32):
(1) Visi, misi, dan tujuan sekolah
(2) Identifikasi SI dan SKL
(3) Kajian internal atau kondisi sekolah (kekuatan dan kelemahan) yang meliputi:
(a) peserta didik,
(b) pendidik dan tenaga kependidikan,
(c) sarana dan prasarana,
(d) biaya,
(e) program-program
(4) Kajian eksternal atau situasi sekolah (peluang dan tantangan) yang dilihat dari masyarakat dan lingkungan sekolah yang meliputi:
(a) komite sekolah,
(b) dewan pendidikan,
(c) dinas pendidikan,
(d) asosiasi profesi,
(e) dunia industri dan dunia kerja,
(f) sumber daya alam dan sosial budaya.
d. Kajian Muatan KTSP
(1) Visi, Misi, dan Tujuan Sekolah
Penetapan visi, misi, dan tujuan sekolah akan sangat berperan bagi pengembangan sekolah di masa depan. Visi dan misi saling berkaitan. Visi (vision) merupakan gambaran (wawasan) tentang sekoah yang diinginkan di masa jauh ke depan.
Misi (mission) ditetapkan dengan mempertimbangkan rumusan penugasan (yang merupakan tuntutan tugas “dari luar”) dan keinginan “dari dalam” (yang antara lain berkaitan dengan visi ke masa depan dan situasi yang dihadapi saat ini. Misi sebuah sekolah perlu mempertimbangkan misi induknya (dinas pendidikan kabupaten/kota). Misi diperjelas dan dijabarkan dengan tujuan sekolah (goals).
Tujuan sekolah seharusnya tidak betentangan dengan visi dan misi sekolah yang sudah ditetapkan. Perumusan tujuan harus nyata dan terukur.
Deskripsi visi, misi, tujuan seharusnya (1) tidak bertentangan dengan visi, misi, tujuan dinas pendidikan dan koheren dengan renstra depdiknas, (2) mencerminkan dengan jelas kebutuhan lokal dan nasional atau bahkan internasional berkaitan dengan kemampuan lulusan, (3) jelas bagi pihak-pihak yang berminat, ketercapaian tujuan dapat diamati, ditunjukkan dan dapat diuji secara objektif, dipersepsi sebagai sesuatu yang berharga oleh seluruh pihak yang berminat, realistis, (4) secara tersurat ada prioritas menghasilkan peserta didik yang bermutu.
(2) Identifikasi SI dan SKL
Para pendidik di sekolah perlu melakukan identifikasi SI dan SKL. Identifikasi dapat dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: membaca secara saksama, memahami, mengkaji, dan membedah SI dan SKL. Hal itu perlu dilakukan supaya penerapan SI dan SKL di sekolah dan terutama dalam pembelajaran benar-benar baik.
(3) Situasi Internal atau Kondisi Sekolah
(a) Peserta Didik
Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan peserta didik dapat dilihat dari input awal dan saat pembelajaran. Analisi ini meliputi rata-rata kemampuan akademik peserta didik, minat, dan bakat peserta didik. Jadi, analisis peserta didik meliputi analisis kemampuan akademik dan nonakademik.
(b) Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Analisis terhadap pendidik dan tenaga kependidikan dimaksudkan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan sumber daya manusia yang dimiliki oleh sekolah. Analisis ini perlu dilakukan agar KTSP yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan kemampuan sekolah dan dapat dilaksanakan secara maksimal. Dalam melakukan identifikasi, setidaknya perlu diperoleh informasi mengenai: jumlah pendidik dan rinciannya, kelayakan fisik dan mental pendidik, latar belakang pendidikan dan/atau sertifat keahlian, kompetensi pendidik (pedagogik, kepribadian, profesional, sosial), rata-rata beban mengajar pendidik, rasio pendidik dan peserta didik, minat pendidik dalam pengembangan profesi, jumlah tenaga kependidikan dan rinciannya, kelayakan fisik dan mental tenaga kependidikan, jenis keahlian, latar belakang tenaga kependidikan, dan minat tenaga kependidikan dalam pengembangan profesi.


(c) Sarana dan Prasarana
Analisis atas sarana yang dimiliki oleh sekolah meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.(SNP pasal 42 ayat 1).
Perabot di antaranya meliputi meja, kursi, papan tulis yang ada di setiap kelas. Peralatan meliputi peralatan laboratorium ilmu pengetahuan alam (IPA), laboratorium bahasa, laboratorium komputer, dan peralatan pembelajaran lain (cf. SNP pasal 43). Media pendidikan di antaranya alat peraga, OHP, LCD, slide, gambar yang mendukung ketercapaian pembelajaran. Yang termasuk dalam buku dan sumber belajar di antaranya adalah bahan cetakan baik jurnal, buku teks, maupun referensi; lingkungan; media cetak maupun elektronik; narasumber. Adapun bahan habis pakai meliputi bahan-bahan yang digunakan dalam praktik pembelajaran. Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan semua sarana itu meliputi kepemilikan, kelayakan, jumlah, dan kondisi sarana yang ada.
Analisis atas prasarana meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan sekolah, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (SNP pasal 42 ayat 2). Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan prasarana di sekolah meliputi keberadaannya, rasio banyaknya, kelayakannya, dan kebersihannya.
(d) Biaya
Analisis biaya sesuai dengan pasal 62 tentang standar pembiayaan dalam SNP. Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Biaya operasi sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
-gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji,
-bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
-biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
Analisis terhadap pembiayaan di sekolah mengarah pada kelemahan dan kekuatan pembiayaan di sekolah tersebut terhadap pengembangan dan pelaksanaan KTSP
(e) Program-program
KTSP disusun oleh sekolah untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan program-program meliputi: program pendidikan (antara lain: pemilihan mata pelajaran muatan nasional dan muatan lokal, pemilihan kegiatan pengembangan diri, penentuan pendidikan kecakapan hidup, penentuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global), program pembelajaran, program remedial, dan program pengayaan.
Ada atau tidaknya program, keterlaksanaan, serta kesesuaian program dengan kebutuhan dan potensi yang ada di sekolah/ daerah merupakan analisis yang sangat diperlukan untuk mengembangkan KTSP.
4. Kondisi Masyarakat dan Lingkungan Sekolah
a. Komite Sekolah
Komite sekolah/madrasah merupakan pihak yang ikut berlibat dalam penyusunan KTSP di samping narasumber dan pihak lain yang terkait. Adapun tim penyusun KTSP terdiri atas pendidik, konselor, dan kepala sekolah sebagai ketua merangkap anggota.
Pada tahap akhir, komite sekolah juga harus memberikan pertimbangan terhadap penyusunan KTSP. Dalam BSNP (2006: 5) disebutkan, pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah.
Dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan, dalam SNP Pasal 51 ayat 2 dinyatakan bahwa pengambilan keputusan pada sekolah dasar dan menengah di bidang nonakademik dilakukan oleh komite sekolah yang dihadiri oleh kepala sekolah. Selain itu, komite sekolah juga memutuskan pedoman struktur organisasi sekolah dan biaya operasional sekolah. Komite sekolah juga memberikan masukan tentang tata tertib sekolah, yang minimal meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik, serta penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Pimpinan sekolah dan komite sekolah juga melakukan pemantauan untuk menilai efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sekolah. Adapun pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dipertanggungjawabkan oleh kepala sekolah kepada rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah. Berdasarkan hal-hal itulah, analisis terhadap peluang dan tantangan dari pihak komite sekolah/madrasah perlu dilakukan untuk mengembangkan KTSP.
b. Dewan Pendidikan
Dewan Pendidikaan beranggotakan masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Dalam penyusunan KTSP, dewan pendidikan berperan sebagai lembaga yang dapat ikut memantau dan mengevaluasi pelaksanaan KTSP. Berdasarkan hal itulah, analisis terhadap kepedulian dewan pendidikan perlu dilakukan untuk semakin memantapkan pengembangan KTSP.
c. Dinas Pendidikan
Dinas pendidikan kabupaten/kota bertugas melakukan koordinasi dan supervisi terhadap pengembangan KTSP SMP. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah. Dalam hal ini, dinas Pendidikan setempat dapat memfasilitasi penyusunan silabus dengan membentuk sebuah tim yang terdiri atas para pendidik berpengalaman di bidangnya. Analisis terhadap peluang dan tantangan yang ada di dinas pendidikan perlu dilakukan guna pengembangan KTSP.
d. Asosiasi Profesi
Ada beberapa asosiasi profesi secara umum yang ikut mendukung profesionalisme pendidik. Akan tetapi, secara lebih khusus, asosiasi profesi untuk para pendidik/guru mata pelajaran di SMP terwujud dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang meliputi MGMP sekolah, kabupaten/kota, dan provinsi. MGMP dapat berperan pula sebagai tim yang menyusun silabus mata pelajaran tertentu. Keberadaan tim ini akan sangat membantu pengembangan KTSP. Peluang dan tantangan atas keberadaan MGMP perlu dianalisis untuk pengembangan KTSP.
e. Dunia Industri dan Dunia Kerja
Salah satu prinsip pengembangan KTSP adalah relevan dengan kebutuhan kehidupan. Dalam hal ini, pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha, dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan (BSNP, 2006).
Selain itu, KTSP disusun dengan memperhatikan berbagai hal, di antaranya adalah dunia industri dan dunia kerja serta perkembangan ipteks. Dalam KTSP, rencana kegiatan pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh kembangnya pribadi peserta didik yang berjiwa kewirausahaan dan mempunyai kecakapan hidup. Dalam hal ini, dunia indsutri di sekitar sekolah dapat diberdayakan untuk menunjang program pendidikan sekolah yang bersangkutan. Contoh: di dekat sekolah ada industri kerajinan, peserta didik dapat melakukan berbagai kegiatan untuk mencapai kompetensi dasar sesuai konteks industri kerajinan tersebut. Berdasarkan hal-hal itulah, analisis terhadap peluang dan tantangan dunia industri dan dunia kerja di lingkungan sekolah perlu dilakukan untuk pengembangan KTSP.


f. Sumber Daya Alam dan Sosial Budaya
KTSP disusun dengan memperhatikan berbagai hal, di antaranya adalah keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan; kondisi sosial budaya masyarakat setempat; kesetaraan gender. Pada dasarnya, setiap daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan. Masing-masing daerah memerlukan pendidikan sesuai dengan karakteristik daerah dan pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karena itu, KTSP harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan pengembangan daerah. Sumber daya alam yang ada di lingkungan serta aspek sosial budaya yang berlaku di tempat sekolah tersebut berada, dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pelaksanaan penyusunan KTSP.
Sekolah yang berada di daerah pantai, dapat memanfaatkan aspek kelautan sebagai peluang dan tantangan untuk mengembangkan potensi peserta didik. Pendidik dapat mengajarkan dan mengajak peserta didik menanam bakau untuk menahan abrasi pantai. Ini merupakan salah satu contoh pembelajaran untuk memahami alam sekitar dan sekaligus mengatasi tantangan alam.
Selain itu, KTSP harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain. Agar peluang dan tantangan yang tersedia di alam sekitar dan ada di dalam kehidupan sosial budaya masyarakat dapat dimanfaatkan secara maksimal serta dapat memberikan nilai tambah bagi perkembangan peserta didik, diperlukan upaya identifikasi dengan memperhatikan berbagai hal, antara lain: keterjangkauan jarak, waktu, dan biaya; kesesuaian dengan visi, misi, dan tujuan sekolah; ketersediaan dan kemampuan SDM dalam mengelola sekolah; kebermanfaatan aspek sosial budaya bagi peserta didik di masa kini dan yang akan datang. Pada sisi lain, KTSP juga harus diarahkan kepada terciptanya pendidikan yang berkeadilan dan memperhatikan kesetaraan gender.
Berdasarkan hal itulah, analisis terhadap peluang dan tantangan sumber daya alam dan sosial budaya lingkungan sekolah perlu dilakukan untuk mengembangkan KTSP.








BAGIAN X
PROSPEK MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

A. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah
Ada tiga faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan yaitu :
1. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input-input analisis yang tidak consisten;
2. Menyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik;
3. Peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim (Husaini Usman, 2002).
Berdasarkan penyebab tersebut dan dengan adanya era otonomi daerah yang sedang berjalan maka kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk mengembangkan SDM adalah :
1. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based management) dimana sekolah diberikan kewenangan untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan;
2. Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education) di mana terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning center;
3. Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan.
Selain itu pada tanggal 2 Mei 2002, bertepatan hari pendidikan nasional, pemerintah telah mengumumkan suatu gerakan nasional untuk peningkatan mutu pendidikan, sekaligus mengantar perluasan pendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat
Manajemen peningkatan mutu sekolah adalah suatu metode peningkatan mutu yang bertumpu pada sekolah itu sendiri, mengaplikasikan sekumpulan teknik, mendasarkan pada ketersediaan data kuantitatif & kualitatif, dan pemberdayaan semua komponen sekolah untuk secara berkesinambungan meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasi sekolah guna memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Dalam Peningkatan Mutu yang selanjutnya disingtkat MPM, terkandung upaya:
1. Mengendalikan proses yang berlangsung di sekolah baik kurikuler maupun administrasi,
2. Melibatkan proses diagnose dan proses tindakan untuk menindak lanjuti diagnose,
3. Memerlukan partisipasi semua fihak : Kepala sekolah, guru, staf administrasi, siswa, orang tua dan pakar.
Berdasarkan pengertian di atas dapat difahami bahwa Manajemen Peningkatan Mutu memiliki prinsip :
1. Peningkatan mutu harus dilaksanakan di sekolah
2. Peningkatan mutu hanya dapat dilaksanakan dengan adanya kepemimpinan yang baik
3. Peningkatan mutu harus didasarkan pada data dan fakta baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif
4. Peningkatan mutu harus memberdayakan dan melibatkan semua unsur yang ada di sekolah
5. Peningkatan mutu memiliki tujuan bahwa sekolah dapat memberikan kepuasan kepada siswa, orang tua dan masyarakat. (Hand out, pelatihan calon kepala sekolah :2000)
Berdasarkan Panduan Manajemen Sekolah (2000:200-202) dijelaskan sebagai berikut :
1. School Review
Suatu proses dimana seluruh komponen sekolah bekerja sama khususnya dengan orang tua dan tenaga profesional (ahli) untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas sekolah, serta mutu lulusan.
School review dilakukan untuk menjawab pertanyaan berikut :
a. Apakah yang dicapai sekolah sudah sesuai dengan harapan orang tua dan siswa sendiri ?
b. Bagaimana prestasi siswa ?
c. Faktor apakah yang menghambat upaya untuk meningkatkan mutu ?
d. Apakah faktor-faktor pendukung yang dimiliki sekolah ?
School review akan menghasilkan rumusan tentang kelemahan-kelemahan, kelebihan-kelebihan dan prestasi siswa, serta rekomendasi untuk pengembangan program tahun mendatang.
2. Benchmarking :
Suatu kegiatan untuk menetapkan standar dan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok ataupun lembaga.
Tiga pertanyaan mendasar yang akan dijawab oleh benchmarking adalah :
a. Seberapa baik kondisi kita?
b. Harus menjadi seberapa baik?
c. Bagaimana cara untuk mencapai yang baik tersebut?
Langkah-langkah yang dilaksanakan adalah :
a. Tentukan fokus
d. Tentukan aspek/variabel atau indikator
c. Tentukan standar
d. Tentukan gap (kesenjangan) yang terjadi.
e. Bandingkan standar dengan kita
f. Rencanakan target untuk mencapai standar
g. Rumuskan cara-cara program untuk mencapai target
3. Quality Assurance
Suatu teknik untuk menentukan bahwa proses pendidikan telah berlangsung sebagaimana seharusnya. Dengan teknik ini akan dapat dideteksi adanya penyimpangan yang terjadi pada proses. Teknik menekankan pada monitoring yang berkesinambungan, dan melembaga, menjadi subsistem sekolah.
Quality assurance akan menghasilkan informasi, yang :
a. Merupakan umpan balik bagi sekolah
b. Memberikan jaminan bagi orang tua siswa bahwa sekolah senantiasa memberikan pelayanan terbaik bagi siswa.
Untuk melaksanakan quality assurance menurut Bahrul Hayat dalam hand out pelatihan Calon kepala sekolah (2000:6), maka sekolah harus :
a. Menekankan pada kualitas hasil belajar
b. Hasil kerja siswa dimonitor secara terus menerus
c. Informasi dan data dari sekolah dikumpulkan dan dianalisis untuk memperbaiki proses di sekolah.
d. Semua pihak mulai kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, dan juga orang tua siswa harus memiliki komitmen untuk secara bersama mengevaluasi kondisi sekolah yang kritis dan berupaya untuk memperbaiki.
4. Quality Control
Suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai dengan standar. Quality control memerlukan indikator kualitas yang jelas dan pasti, sehingga dapat ditentukan penyimpangan kualitas yang terjadi.

B. Manajemen Mutu Terpadu
Manajemen Mutu Terpadu yang diterjemahkan dari Total Quality Management (TQM) atau disebut pula Pengelolaan Mutu Total (PMT) adalah suatu pendekatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu komponen terkait. M. Jusuf Hanafiah, dkk (1994:4) mendefinisikan Pengelolaan Mutu Total (PMT) adalah suatu pendekatan yang sistematis, praktis, dan strategis dalam menyelenggarakan suatu organisasi, yang mengutamakan kepentingan pelanggan. pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu. Sedang yang dimaksud dengan Pengeloaan Mutu Total (PMT) Pendidikan tinggi (bisa pula sekolah) adalah cara mengelola lembaga pendidikan berdasarkan filosofi bahwa meningkatkan mutu harus diadakan dan dilakukan oleh semua unsur lembaga sejak dini secara terpadu berkesinambungan sehingga pendidikan sebagai jasa yang berupa proses pembudayaan sesuai dengan dan bahkan melebihi kebutuhan para pelanggan baik masa kini maupun yang akan datang.
Komponen yang terkait dengan mutu pendidikan yang termuat dalam buku Panduan Manajemen Sekolah (2000: 191) adalah:
1. Siswa : kesiapan dan motivasi belajarnya,
2. Guru : kemampuan profesional, moral kerjanya (kemampuan personal), dan kerjasamanya (kemampuan social).
3. Kurikulum : relevansi konten dan operasionalisasi proses pembelajarannya,
4. Sarana dan prasarana : kecukupan dan keefektifan dalam mendukung proses pembelajaran,
5. Masyarakat (orang tua, pengguna lulusan, dan perguruan tinggi) : partisipasinya dalam pengembangan program-program pendidikan sekolah. Mutu komponen-komponen tersebut di atas menjadi fokus perhatian kepala sekolah.
Adapun prinsip dari MMT dalam buku tersebut yaitu selama ini sekolah dianggap sebagai suatu Unit Produksi, dimana siswa sebagai bahan mentah dan lulusan sekolah sebagai hasil produksi. Dalam MMT sekolah dipahami sebagai Unit Layanan Jasa, yakni pelayanan pembelajaran.
Sebagai unit layanan jasa, maka yang dilayani sekolah (pelanggan sekolah ) adalah:
1. Pelanggan internal : guru, pustakawan, laboran, teknisi dan tenaga administrasi,
2. Pelanggan eksternal terdiri atas : pelanggan primer (siswa), pelanggan sekunder (orang tua, pemerintah dan masyarakat), pelanggan tertier (pemakai/penerima lulusan baik diperguruan tinggi maupun dunia usaha).

C. Problematika Pendidikan Nasional
Masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan manajemen peningkatan mutu pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Hanafiah, dkk adalah :
1. Sikap mental para pengelola pendidikan, baik yang memimpin maupun yang dipimpin. Yang dipimpin bergerak karena perintah atasan, bukan karena rasa tanggung jawab. Yang memimpin sebaliknya, tidak memberi kepercayaan, tidak memberi kebebasan berinisiatif, mendelegasikan wewenang.
2. Tidak adanya tindak lanjut dari evaluasi program. Hampir semua program dimonitor dan dievaluasi dengan baik, Namun tindak lanjutnya tidak dilaksanakan. Akibatnya pelaksanaan pendidikan selanjutnya tidak ditandai oleh peningkatan mutu.
3. Gaya kepemimpinan yang tidak mendukung. Pada umumnya pimpinan tidak menunjukkan pengakuan dan penghargaan terhadap keberhasilan kerja stafnya. Hal ini menyebabkan staf bekerja tanpa motivasi.
4. Kurangnya rasa memiliki pada para pelaksana pendidikan. Perencanaan strategis yang kurang dipahami para pelaksana, dan komunikasi dialogis yang kurang terbuka. Prinsip melakukan sesuatu secara benar dari awal belum membudaya. Pelaksanaan pada umumnya akan membantu sustu kegiatan, kalau sudah ada masalah yang timbul. Hal inipun merupakan kendala yang cukup besar dalam peningkatan dan pengendalian mutu. (M. Jusuf Hanafiah dkk, 1994:8).

D. Upaya Pemecahan Pendidikan Nasional
Sikap mental bawahan yang bekerja bukan atas tanggung jawab, tetapi hanya karena diperintah atasan akan membuat pekerjaan yang dilaksanakan hasilnya tidak optimal. Guru hanya bekerja berdasarkan petunjuk dari atas, sehingga guru tidak bisa berinisitiaf sendiri. Sementara itu pimpinan sendiri punya sikap mental yang negatif dimana ia tidak bisa memberikan kesempatan bagi bawahan untuk berkarir dengan baik, bawahan harus mengikuti pada petunjuk atasan, bawahan yang selalu dicurigai, bawahan yang tidak bisa bekerja sesuai dengan caranya. Kenyatan ini karena profil kepala sekolah yang belum menampilkan gaya entrepeneur dan gaya memimpin situasional.
Penelitian Usman (1996) menyimpulkan bahwa pelaksanaan Pengembangan Sekolah Seutuhnya (PSS) di SMK mengalami kegagalan karena kepala sekolahnya masih cenderung manampilkan gaya kepemimpinan otoriter, hal ini karena lemahnya kemandirian sekolah akibat pembinaan pemerintah yang sangat sentralistik. Birokratik, formalistik, konformistik, uniformistik dan mekanistik. Pembinaan yang demikian ini tidak memberdayakan potensi sekolah. Akibatnya, setiap hierarki yang berada di bawah kekuasaan bersikap masa bodoh, apatis, diam supaya aman, menunggu perintah, tidak kreatif dan tidak inovatif, kurang berpartisipasi dan kurang bertanggung jawab, membuat laporan asal bapak senang dan takut mengambil resiko.
Kelemahan sistem sentralistik dengan komunikasi dari atas ke bawah lebih menekankan fingsinya sebagai line of command dan tidak fungsinya sebagai line of services, hal ini tampaknya merintangi perkembangan-perkembangan potensi SDM untuk memcahkan masalah-masalah khusus on the spot (Sutisna, 1972 dalam Husaini Usman, 2001).Hal tersebut merupakan penghalang dalam pelaksanaan manajemen mutu pendidikan, maka solusinya adalah dengan diadakannya penerapan pendidikan yang tidak sentralistik, sehingga pola manajemen pendidikan dapat disesuaikan dari pola lama ke pola baru.
Program peningkatan mutu pendidikan tidak akan jalan jika setelah diadakannya monitoring dan evaluasi tanpa ditindaklanjuti. Fungsi pengawasan (controlling) dalam manajemen berguna untuk membuat agar jalannya pelaksanaan manajemen mutu sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Pengawasan bertujuan untuk menilai kelebihan dan kekurangan. Apa-apa yang salah dintinjau ulang dan segera diperbaiki. Tidak adanya tindak lanjut bisa disebabkan karena rendahnya etos kerja para pengelola pendidikan, iklim organisasi yang tidak menyenangkan. Mengenai etos kerja Pidarta (1998), mengutip hasil penelitian Internasional bahwa Indonesia sebagai bangsa termalas nomor tiga dari 42 negara termalas di dunia.
Agar program dapat dimonitor dan ditindaklanjuti maka perlu melibatkan semua pihak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan partisipatif ialah suatu cara pengambilan keputusan yang terbuka dan demokratis yang melibatkan seluruh stakeholders di dewan sekolah. Asumsinya jika seseorang diundang untuk pengambilan keputusan, maka ia kan merasa dihargai, dilibatkan, memiliki, bertanggung jawab. Pelibatan stakeholders didasarkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinyan dengan tujuan pengambilan keputusan.
Gaya kepemimpinan yang tidak mendukung, akan mengakibatkan gagalnya pelaksanaan manajemen peningkatan mutu. Kepala sekolah harus senantiasa memahami sekolah sebagai suatu sistem organic. Untuk itu kepala sekolah harus lebih berperan sebagai pemimpin dibandingkan sebagai manager. Sebagai leader maka kepala sekolah harus :
1. Lebih banyak mengarahkan daripada mendorong atau memaksa
2. Lebih bersandar pada kerjasama dalam menjalankan tugas dibandingkan bersandar pada kekuasaan atau SK.
3. Senantiasa menanamkan kepercayaan pada diri guru dan staf administrasi. Bukannya menciptakan rasa takut.
4. Senantiasa menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu daripada menunjukkan bahwa ia tahu sesuatu.
5. Senantiasa mengembangkan suasana antusias bukannya mengembangkan suasana yang menjemukan
6. Senantiasa memperbaiki kesalahan yang ada daripada menyalahkan kesalahan pada seseorang, bekerja dengan penuh ketangguhan bukannya ogah-ogahan karena serba kekurangan (Boediono, 1998).
Menurut Poernomosidi Hadjisarosa (1997 dalam slamet, PH, 2000), kepala sekolah merupakan salah satu sumberdaya sekolah yang disebut sumberdaya manusia jenis manajer (SDM-M) yang memiliki tugas dan fungsi mengkoordinasikan dan menyerasikan sumberdaya manusia jenis pelaksana (SDM-P) melalui sejumlah input manajemen agar SDM-P menggunakan jasanya untuk bercampur tangan dengan sumberdaya selebihnya (SD-slbh), sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output yang diharapkan.
Secara umum, karakteristik kepala sekolah tangguh dapat dituliskan sebagai berikut (Slamet, PH,2000) :
1. Kepala sekolah:
a. Memiliki wawasan jauh kedepan (visi) dan tahu tindakan apa yang harus dilakukan (misi) serta paham benar tentang cara yang akan ditempuh (strategi);
b. Memiliki kemampuan mengkoordinasikan dan menyerasikan seluruh sumberdaya terbatas yang ada untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan sekolah (yang umumnya tak terbatas);
c. Memiliki kemampuan mengambil keputusan dengan terampil (cepat, tepat, cekat, dan akurat);
d. Memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan dan yang mampu menggugah pengikutnya untuk melakukan hal-hal penting bagi tujuan sekolahnya;
e. Memiliki toleransi terhadap perbedaan pada setiap orang dan tidak mencari orang-orang yang mirip dengannya, akan tetapi sama sekali tidak toleran terhadap orang-orang yang meremehkan kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai;
f. Memiliki kemampuan memerangi musuh-musuh kepala sekolah, yaitu ketidakpedulian, kecurigaan, tidak membuat keputusan, mediokrasi, imitasi, arogansi, pemborosan, kaku, dan bermuka dua dalam bersikap dan bertindak.
2. Kepala sekolah menggunakan "pendekatan sistem" sebagai dasar cara berpikir, cara mengelola, dan cara menganalisis kehidupan sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah harus berpikir sistem (bukan unsystem), yaitu berpikir secara benar dan utuh, berpikir secara runtut (tidak meloncat-loncat), berpikir secara holistik (tidak parsial), berpikir multi-inter-lintas disiplin (tidak parosial), berpikir entropis (apa yang diubah pada komponen tertentu akan berpengaruh terhadap komponen-komponen lainnya); berpikir "sebab-akibat" (ingat ciptaan-Nya selalu berpasang-pasangan); berpikir interdipendensi dan integrasi, berpikir eklektif (kuantitatif + kualitatif), dan berpikir sinkretisme.
3. Kepala sekolah memiliki input manajemen yang lengkap dan jelas, yangditunjukkan oleh kelengkapan dan kejelasan dalam tugas (apa yang harus dikerjakan, yang disertai fungsi, kewenangan, tanggungjawab, kewajiban, dan hak), rencana (diskripsi produk yang akan dihasilkan), program (alokasi sumberdaya untuk merealisasikan rencana), ketentuan-ketentuan/limitasi (peraturan perundang-undangan, kualifikasi, spesifikasi, metoda kerja, prosedur kerja, dsb.), pengendalian (tindakan turun tangan), dan memberikan kesan yang baik kepada anak buahnya.
4. Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan perannya sebagai manajer (mengkoordinasi dan menyerasikan sumberdaya untuk mencapai tujuan), pemimpin (memobilisasi dan memberdayakan sumberdaya manusia), pendidik (mengajak nikmat untuk berubah), wirausahawan (membuat sesuatu bisa terjadi), penyelia (mengarahkan, membimbing dan memberi contoh), pencipta iklim kerja (membuat situasi kehidupan kerja nikmat), pengurus/administrator (mengadminitrasi), pembaharu (memberi nilai tambah), regulator (membuat aturan-aturan sekolah), dan pembangkit motivasi (menyemangatkan).
Catatan: manajer tangguh, menurut hasil-hasil penelitian kelas kakap dunia, paling tidak memiliki sejumlah kompetensi seperti berikut. Menurut Enterprising Nation (1995), manajer tangguh memiliki delapan kompetensi, yaitu: (a) people skills, (b) strategic thinker, (c) visionary, (d) flexible and adaptable to change, (e) self-management, (f) team player, (g) ability to solve complex problem and make decisions, and (h) ethical/high personal standards.
Sedang American Management Association (1998) menuliskan 18 kompetensi yang harus dimiliki manajer tangguh, yaitu: (a) efficiency orientation, (b) proactivity, (c) concern with impact, (d) diagnostic use of concepts, (e) use of unilateral power, (f) developing others, (g) spontaneity, (h) accurate self-assessment, (i) self-control, (j) stamina and adaptability, (k) perceptual objectivity, (l) positive regard, (m) managing group process, (n) use of sosialized power, (o) self-confidence, (p) conceptualization, (q) logical thought, and (r) use of oral presentation.
5. Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan dimensi-dimensi tugas (apa), proses (bagaimana), lingkungan, dan keterampilan personal, yang dapat diuraikan sebagai berikut: (a) dimensi tugas terdiri dari: pengembangan kurikulum, manajemen personalia, manajemen kesiswaan, manajemen fasilitas, pengelolaan keuangan, hubungan sekolah-masyarakat, dsb; (b) dimensi proses, meliputi pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, pengkoordinasian, pemotivasian, pemantauan dan pengevaluasian, dan pengelolaan proses belajar mengajar; (c) dimensi lingkungan meliputi pengelolaan waktu, tempat, sumberdaya, dan kelompok kepentingan; dan (d) dimensi keterampilan personal meliputi organisasi diri, hubungan antar manusia, pembawaan diri, pemecahan masalah, gaya bicara dan gaya menulis (Lipham, 1974; Norton, 1985).
6. Kepala sekolah mampu menciptakan tantangan kinerja sekolah (kesenjangan antara kinerja yang aktual/nyata dan kinerja yang diharapkan). Berangkat dari sini, kemudian dirumuskan sasaran yang akan dicapai oleh sekolah, dilanjutkan dengan memilih fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran, lalu melakukan analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, Threat) untuk menemukan faktor-faktor yang tidak siap (mengandung persoalan), dan mengupayakan langkah-langkah pemecahan persoalan. Sepanjang masih ada persoalan, maka sasaran tidak akan pernah tercapai.
7. Kepala sekolah mengupayakan teamwork yang kompak/kohesif dan cerdas, serta membuat saling terkait dan terikat antar fungsi dan antar warganya, menumbuhkan solidaritas/kerjasama/kolaborasi dan bukan kompetisi sehingga terbentuk iklim kolektifitas yang dapat menjamin kepastian hasil/output sekolah.
8. Kepala sekolah menciptakan situasi yang dapat menumbuhkan kreativitas dan memberikan peluang kepada warganya untuk melakukan eksperimentasi-eksperimentasi untuk menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru, meskipun hasilnya tidak selalu benar (salah). Dengan kata lain, kepala sekolah mendorong warganya untuk mengambil dan mengelola resiko serta melindunginya sekiranya hasilnya salah.
9. Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan menciptakan sekolah belajar .
10. Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah sebagai konsekuensi logis dari pergeseran kebijakan manajemen, yaitu pergeseran dari Manajemen Berbasis Pusat menuju Manajemen Berbasis Sekolah (dalam kerangka otonomi daerah).
11. Kepala sekolah memusatkan perhatian pada pengelolaan proses belajar mengajar sebagai kegiatan utamanya, dan memandang kegiatan-kegiatan lain sebagai penunjang/pendukung proses belajar mengajar. Karena itu, pengelolaan proses belajar mengajar dianggap memiliki tingkat kepentingan tertinggi dan kegiatan-kegiatan lainnya dianggap memiliki tingkat kepentingan lebih rendah.
12. Kepala sekolah mampu dan sanggup memberdayakan sekolahnya (Slamet PH, 2000), terutama sumberdaya manusianya melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumberdaya.
Kurangnya rasa memiliki pada para pelaksana pendidikan. Perencanaan strategis yang kurang dipahami para pelaksana, dan komunikasi dialogis yang kurang terbuka. Prinsip melakukan sesuatu secara benar dari awalï belum membudaya merupakan penghalang dalam pelaksanaan manajemen peningkatan mutu. Untuk itu perlu ditanamkan kepada warga sekolah untuk mempunyai asa memiliki bangga terhadap sekolahnya. Hal ini bisa terlaksana jika para warga sekolah itu merasa puas terhadap pelayanan sekolah.
Dalam MMT (Manajemen Mutu Terpadu) keberhasilan sekolah diukur dari tingkat kepuasan pelanggan, baik internal maupun eksternal. Sekolah dikatakan berhasil jika mampu memberikan pelayanan sama atau melebihi harapan pelanggan. Dilihat jenis pelanggannya, maka sekolah dikatakan berhasil jika :
1. Siswa puas dengan layanan sekolah, antara lain puas dengan pelajaran yang diterima, puas dengan perlakuan oleh guru maupun pimpinan, puas dengan fasilitas yang disediakan sekolah. Pendek kata, siswa menikmati situasi sekolah.
2. Orang tua siswa puas dengan layanan terhadap anaknya maupun layanan kepada orang tua, misalnya puas karena menerima laporan periodik tentang perkembangan siswa maupun program-program sekolah.
3. Pihak pemakai/penerima lulusan (perguruan tinggi, industri, masyarakat) puas karena menerima lulusan dengan kualitas sesuai harapan
4. Guru dan karyawan puas dengan pelayanan sekolah, misalnya pembagian kerja, hubungan antarguru/karyawan/pimpinan, gaji/honorarium, dan sebagainya. (Panduan Manajemen Sekolah, 2000:193).


BAGIAN XI
KUALITAS GURU YANG DIHARAPKAN,
DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

Permasalahan belajar sebenarnya memiliki kandungan substansi yang “misterius’. Berbagai macam teori belajar telah ditawarkan para pakar pendidikan dengan belahar dapat ditempuh secara efektif dan efisien, dengan implikasi waktu cepat dan hasilnya banyak. Namun, sampai saat ini belum ada satupun teori yang dapat menawarkan strategi belajar secara tuntas. Masih banyak persoalan-persoalan belajar yang belum tersentuh oleh teori-teori tersebut.
Kompleksitas persoalan yang terkait dengan belajar inilah yang menjadi penyebab sulitnya menuntaskan strategi belajar. Ada banyak faktor yang mesti dipertimbangkan dalam belajar, baik yang bersifat internal maupun yang eksternal. Diantara sekian banyak faktor eksternal terdapat guru yang sangat berpengaruh terhadap siswa. Sukses tidaknya para siswa dalam belajar di sekolah, sebagai penyebab tergantung pada guru. Ketika berada di rumah, para siswa berada dalam tanggung jawab orang tua, tetapi di sekolah tanggung jawab itu diambil oleh guru. Sementara itu, masyarakat menaruh harapan yang besar agar anak-anak mengalami perubahan-perubahan positif-konstruktif akibat mereka berinteraksi dengan guru.
Harapan ini menjadi suatu yang niscaya terutama ketika dikaitkan dengan mutu pendidikan. Pembahasan mutu pendidikan betapapun akan terfokuskan pada input- proses-output. Input terkait dengan masyarakat sebagai “pemasok”sedangkan outuput terakait dengan masyarakat sebagai pengguna. Adapun proses terkait dengan guru sebagai pembimbing. Diataran proses inilah yang paling determinan dalam mewujudkan situasi pembelajaran di sekolah baik yang membelenggu, atau sebaliknya membebaskan, membangkitkan dan menyadarkan.

A. Proses Pembelajaran yang Membelenggu
Ada ungkapan yang menarik dari Emille Durkheim. Dia melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individual. Letak daya tarik dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu. Selama ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya, sebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa penddikan bisa juga “berbahaya” bagi kemandirian, kreativitas dan kebebasan siswa sebagai individu.
Dalam kaitannya dengan fungsi negatif yakni pendidikan sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari model-model pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Jika kita adakan evaluasi, di kalangan kita sendiri memang terdapat gejala-gejala perilaku guru dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan daya kritis siswa, bahkan dalam batas-batas tertentu membaayakan masa depan siswa seperti sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah.
Dalam suatu kelas tidak jarang guru melempar suatu pertanyaan yang harus dijawab siswa. Ada seorang siswa yang berani menjawab pertanyaan dengan penuh keyakinan dan harapan mendapat simpati guru. Apa yang terjadi justru di luar dugaan dengan jawaban itu teman-temannya di sekitar tertawa sedang guru mengatakan, “tidak, itu salah. Saya heran melihatmu”. Kasus ini menurut Bobbi Deporter and Mike Hernacki, adalah awal terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu belajar menjadi tugas sangat berat. Keraguan tumbuh dalam dirinya, dan dia mulai menguragi resiko sedikit demi sedikit. Sebab dia merasa malu dan dipermalukan dihadapan banyak anak. Kesan negatif ini terus membayangi dalam perkembangan lantaran komentar itu.
Komentar negatif selama ini seringkali diterima anak bukan saja di sekolah, melainka juga di rumah atau di lingkungan masyarakat. Pada 1982, seorang pakar masalah kepercayaan diri, Jack canfield melaporkan bahwa hasil penelitian dalam sehari setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif yang bersifat mendukung. Jadi,komentar negatif enam kali lebi banyak dari pada komentar positif. Suasana seperti ini berbahaya bagi masa depan anak, mereka bisa merasa tegang dan terbebani ketika misalnya disuruh belajar. Dinding-dinding kelas dirasakan sebagai dinding-dinding tempat penjara.
Model pembelajaran berikutnya yang dapat membelenggu dan menindas siswa adalah sebagaimana yang Paulo Freire disebut sebagai pendidikan ”gaya bank”. Model ini menurut pengamatan Freire, menjadi sebuah kegiatan menabung: para murid sebagai celengannya sedangkan guru sebagai penbungnya.. Ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan. Semakin banyak murid yang meyimpan tabungan, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritisnya.
Sesungguhnya, belajar itu merupakan pekerjaan yang cukup berat, yang menuntut skap kritis sistemik (Sistemic Critical Attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktek langsung. Sikap kritis sama sekali tidak dapat dihasilkan melalui pendidikan yang bergaya bank (banking action) ini. Dalam pendidikan model ini, yang dibutuhkan buka pemahaman isi, tetapi sekedar hafal (memorization). Bukan memahami teks, tetapi hanya menghafal dan jika siswa siswa melakukannya berarti siswa telah memenuhi kewajibannya. Padahal hafalan hanya akan menumpuk pengetahuan dalam arti pasif, karena tanpa upaya pengembangan sama sekali sebagai yang menjadi karakternya selama ini.
Selanjutnya pembelajaran model bank ini telah menempatkan guru dan siswa dalam posisi berhadap-hadapan. Guru sebagai subyek dan siswa sebagai obyek, guru yang “menakdirkan” sedangkan siswa yang “ditakdirkan”, guru sebagai peran dan siwa sebagai yang diperankan.
Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan guru sebagai penindas sedang siswa sebagai tertindas. Freire setidaknya telah mengungkapkan peran yang kontras itu sebagai berikut:
1. Guru mengajar, -----------------------------------------Murid diajar
2. Guru mengetahui segala sesuatu, ---------------------Murid tidak tahu apa-apa
3. Guru berfikir, --------------------------------------------Murid dipikirkan
4. Guru bercerita, ------------------------------------------Murid patuh mendengarkan
5. Guru menentukan peraturan, --------------------------Murid diatur
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya,--------Murid menyetujuinya
7. Guru berbuat, ------------------------------------------Murid membayangkan dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya.
8. Guru memiliki bahan dan isi pelajaran,---------- Murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
9. Guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan
jabatannya, ----------------------------------------------Murid dibatasi kebebasannya.
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, -------- Murid adalah obyek belaka
Pengajaran model demikian ini memposisiskan guru sebagai pihak yang ”menang”sedangkan siswa sebagai pihak yang “kalah”, suatu dikootomi yang mestinya tidak layak terjadi mengingat pengajaran bukan proses perbandingan sehingga ada yang menag dan ada yang kalah. Dengan istilah lain pengajar ini terkadang disebut pengajaran model komando. Seorang komandan dalam militer posisinya selalu diatas, memegang perintah yang harus ditaati.
Pengajaran model gaya komando ini memerankan guru, yang oleh S. Nasution disebut guru yang bertipe dominatif sebagai lawan dari tipe integrative. Pengajaran tersebut mendapat kritik keras karena mematikan semangat demokratisasi dan kreativitas siswa, tidak menghargai siswa dan keagamaannya. Guru merasa memiliki wewenang apa saja yang berkaitan dengan pembelajaran dan tidak boleh diganggu gugat oleh siswa maupun pihak lain, praktis, pengajaran model tersebut hanya menjadikan guru pandai sepihak sedangkan siswa tetap bodoh, pasif, kering ide atau gagasan, stagnan, tertindas dan terbelenggu.
Upaya pembelajaran yang ternyata berbalik membelenggu ini tidak lepas begiitu saja-karena akibat demikian tidak pernah disadari guru dominatif tersebut-selagi belum ada gugatan secara maksimal untuk mewujudkan pembelajaran yang benar-benar demokratis sebagai kebutuhan pendidikan secara mendesak.

B. Pembelajaran Demokratis
Sebagai upaya untuk keluar dari pembelajaran yang membelenggu tersebut menuju pada pembelajaran yang membebaskan dibutuhkan keterbukaan dan sikap lapang dada dari guru untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa guna mengekspresikan gagasan dan pikirannya Freire mengatakan,” pendekatan yang membebaskan merupakan proses dimana pendidikan mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang senyata secara kritis.” Dalam pendidikan yang membebaskan ini tidak ada subjek yang membebaskan atau objek yan dibebaskan karena tidak ada dikotomi antara subjek dan objek. Guru dan siswa sama-sama subjek dan objek sekaligus. Keduanya dimungkinkan saling take and give (menerima dan memberi). Hanya saja jika guru sebagai pembelajar senior, maka siswa sebagai pembelajar junior,jadi tetap ada perbedaan pengalaman dan karena perbedaan inilah seihingga guru tetap lebih banyak memberi kepada siswa dari pada siswa memberi kepada guru. Tetapi pemberian guru kepada siswa itu sifatnya dorongan, rangsangan atau pancingan agar siswa berkreasi sendiri, bukan sebagai stimulus.
Aliran ini sesungguhnya telah berpandangan progresif. Peran siswa telah dimaksimalkan jauh melebihi peran-peran tradisionalnya dalam himpitan pengajaran model gaya komando. Upaya memaksimalkan peran siswa ini sebagai bentuk riil dari misi pembebasan siswa dari keterbelengguan akibat penindasan guru. Melalui pembebasan ini, diharapkan siswa memiliki kemandirian yang tinggi dalam memberdyakan potersi yang dimiliki untuk berpendapat, bersikap dan berkreasi sendiri.
Oleh karena itu, mesti ada dialog. “ciri aksi budaya yang meperjuangkan kebebasan adalah dialog, sedangkan yang mengarah pada dominasi justru anti dialog dan mendomistifikasikan rakyat.” tangung jawab guru yang menempatkan diri teman dialog bagi siswa lebih besar dari pada guru yang hanya memindahkan informasi yang harus diingat siswa. Sebab guru sedang memupuk sikap keberanian, sikap kritis ,dan sikap toleran terhadap pandangan yang berbeda bahkan bertentangan sekalipun, melalui tradisi saling tukar pandangan dalam menyiapkan suatu masalah.
Tradisi dialogis ini sebagai salah satu bentuk suasana yang mendukung pembelajaran demokratis, yaitu suasana yang melibatkan para siswa dalam proses pembelajaran secara maksimal dengan memperhatikan sepenuhnya terhadap inisiatif, pemikiran, gagasan, ide, kreativitas, dan karya siswa. Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi subjek dalam proses pembelajaran.
Mengingat pentingnya dialog ini, maka pemerintah mengamanatkan melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pendidik dan tenaga kependidikan. Amanat itu terdapat pada pasal 40 ayat 2. Isi dari pasal tersebut adalah:
Pendidikan dan tenaga kependidikan berkewajiban:
1. Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis.
2. Mempunyai komitemen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan
3. Memberikan teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan keprcayaan yang diberikan kepadanya.
Seiring dengan demokrasi politik. Ada tuntutan demokrasi pendidikan dalam prakteknya berimplikasi pada demokrasi pembelajaran dengan indikasi menciptakan suasana dialogis. Dengan demikian, peranan guru dalam penyampaian pengetahuan menjadi sangat berkurang yang digantikan oleh peranan siswa yang semakin menguat. Tuntutan dialog belakangan ini sebagai suatu yang tak terelakkan lagi dalam kehidupan pendidikan demokratis, sekaligus membuktikkan adanya pergeseran posisi siswa dari posisi objek ke posisi subjek dalam berbagai kesempatan.
Demikian pula, pergantian istilah anak didik, terdidik maupun objek didik menjadi peserta didik bahkan pembelajar bukan hanya persoalan semantic, melainkan perubahan paradigma pembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran pendidikan yang berorientasi pada kondisi demokratis dan emansipatoris, dengan memerankan siswa agar lebih produktif,progresif dan pro-aktif dibandingkan peran masa lampaunya. Bagaimana istilah peserta didik apalagi pembelajar akan selalu mengesankan kondisi aktif pada istilah anak didik, terdidik maupun objek didik.
Oleh karena itu, belakangan ini pengertian perencananaan untuk memberi peluang pada siswa-siswanya mengembangkan aktivitas belajar, serta mengeksplorasi berbagai pengalaman baru untuk mencapai berbagai kompetensi yang diidealkannya, dan telah menjadi kesepakatan-kesepakatan kelas bersama dengan gurunya. Guru tidak banyak mencampuri mengatur dan menegur pekerjaan anak, akan tetapi membiarkan bekerja menurut kemampuan dan cara masing-masing sikap in cocok dengan kuirkulum ‘student centered”.
Selanjutnya perkembangan paling menarik terjadi sejak 25 tahun terakhir bahwa guru-guru di berbagai sekolah di Amerika melakukan transaksi kurikulum dengan para siswanya. Guru menawarkan berbagai kompetensi pada siswanya, sedang siswa memilih serta menentukan sendiri apa yang mereka pelajari dengan gurunya itu. Implikasi adalah terjadi kajian dari sesama siswa untuk menentukan berbagai bahan materi pelajaran yang akanmereka pelajari dalam masa tertentu. Inilah yang disebut sebagai curriculum as transaction and curriculum as inquiry.
Kasus ini benar-benar menggambarkan pembelajaran demokratis lantaran melibatkan siswa dalam menentukan sendiri kompetensi maupun bahan pelajaran sesuai dengan selera dan kebutuhan mereka sendiri tanpa paksaan maupun intervensi guru.keterlibatan siswa seperti ini makin mendesak untuk direalisasikan, sehingga dibutuhkan guru yang benar-benar professional.

C. Profesionalisme Guru
Profesionalisme menjadi taruhan ketika menghadapi tuntutan-tuntutan pembelajaran demokratis karena tuntutan tersebut merefleksikan suatu kebutuhan yang semakin kompleks yang berasal dari siswa; tidak sekedar kemampuan guru menguasai pelajaran semata tetapi juga kemampuan lainnya yang bersifat psikis, strategis dan produktif. Tuntutan demikian ini hanya bisa dijawab oleh guru yang professional
Oleh karena itu, Sudarwan Danim menegasakan bahwa tuntutan kehadiran guru yang profesional tidak pernah surut, karena dalam latar proses kemanusiaan dan pemanusiaan,ia hadir sebagai subjek paling diandalkan. Istilah professional berasal dari profession, yang mengandung arti sama dengan occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus.. ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan professionalisme yaitu okupasi, profesi dan amatir. Terkadang membedakan antar para professional, amatir dan delitan. Maka para professional adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoeleh pendidikan atau pelatihan yang khusus untuk pekerjaan itu.
Kemudian bagaimanakah hubungan profesional dengan kompetensi? M. Arifin menegaskan bahwa kompetensi itu bercirikan tiga kemampuan profesional yaitu; kepribadian guru, penguasa ilmu atau bahan pelajaran, dan ketrampilan mengajar yang disebut the teaching triad. Ini berarti antara profesi dan kompetensi memilki hubungan yang erat: profesi tanpa kompetensi akan kehilangan makna, dan kopetensi tanpa profesi akan kehilanga guna.
Untuk memahami profesi, kita harus mengenali melaui Ciri-cirnya. Adapun ciri-ciri dari suatu profesi adalah:
1. Memiliki suatu keahlian khusus
2. Merupakan suatu penggilan hidup
3. Memiliki teori-teori yang baku secara universal
4. Mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri
5. Dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif
6. Memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya
7. Mempunyai kode etik
8. Mempunyai klien yang jelas
9. Mempunyai organisasi profesi yang kuat
10. Mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang alin.
Ciri-ciri tersebut masih general, karena belum dikaitkan dengan bidang keahlian tertentu. Bagi profesi guru berarti ciri-ciri itu lebih spesifik lagi dalam kaitannya dengan tugas-tugas pendidikan dan pengajaran baik di dalam maupun di luar kelas.
Mengenai kompetensi, di Indonesia telah ditetapkan sepuluh kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu:
1. Memiliki kualifikasi akademik S1
2. Memiliki kepribadian ideal sebagai guru;
3. Menguasaan landasan pendidikan;
4. Menguasai bahan pengajaran;
5. Memampuan menyusun program pengajaran;
6. Kemampuan menilai hasil dan proses belajar mengajar;
7. Kemampuan menyelenggarakan program bimbingan;
8. Kemampuan menyelenggarakan administrasi sekolah;
9. Kemampuan bekerja sama dengan teman sejawat dan masyarakat; dan
10. Kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
Dengan begitu, tugas guru menjadi lebih luas lagi dari pada proses mentransmisikan pengetahuan, membangun afeksi, dan mengembangkan fungis psikomotorik, karena di dalamnya terkandung produktifutas. Guru yang mogok mengajar apapun alasannya merupakan counter productive proses pendidikan dan pembelajaran yang bermisi kemanusiaan universal itu. dari sisi etika keguruan juga tidak layak terjadi sebab figur guru menjadi panutan di kalangan masyarakat, setidaknya bagi para siswanya sendiri. Di sini predikat guru sebagai pendidik itu berkonotasi dengan tindakan-tindakan yang senantiasa memberi contoh yang baik dalam semua perilakunya. Manajemen guru adalah manajemen uswatun chasanah (teladan yang baik)
Sebagai pendidik, guru harus professional sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Sitem Pendiidkan Nasional bab IX pasal 39 ayat 2: Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabidaian kepada mayarakat, terutama bagi pendidikan pada pergurua tinggi.
Ketentuan ini mencakup tipe macam kegiatan yang harus dilaksanakan oeh guru yaitu pengajaran, penelitan, dan pengabdian masyarakat. Beban ini tidak ada bedanya dengan beban bagi dosen. Tiga macam kegiatan tersebut secara hierarchy melambangkan tiga upaya berjenjang dan meluas gerakannya. Pengajaran melambangkan pelaksanaan tugas rutin, penelitian melambangkan upaya pengembangan profesi, sedang pengabdian melambangkan pemberian kontribusi sosial kepada masyarakat akibat prestasi yang dicapai tersebut.
Dari ketiga kegiatan tersebut, terutama penelitian menuntut sikap gurui dinamis sebagai seorang professional. ‘seorang profesional adalah seorang yang terus menerus berkembang atau trainable. Untuk mewujudkan keadaan dinamis ini pendidikan guru harus mampu membekali kemampuan kreativitas, rasionalitas, keterlatihan memecahkan masalah, dan kematangan emosionalnya. Semua bekal ini dimaksudkan mewujudkan guru yang berkualitas sebagai tenaga profesional yang sukses dalam menjalankan tugasnya.
Keberhasilan guru dapat ditinjau dari dua segi proses yaitu:
1. Dari segi proses, guru berhasil bila mampu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif baik fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran, juga dari gairah dan semangat mengajarnya serta adanya rasa percaya diri.
2. Sedangkan dari segi hasil, guru berhasil bila pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku pada sebagian besar peserta didik ke arah yang lebih baik.
Sebaliknya,dari sisi siswa, belajar akan berhasil bila memenuhi dua persyaratan:
1. Belajar merupakan sebuah kebutuhan siswa, dan
2. Ada kesiapan untuk belajar, yakni kesiapan memperoleh pengalaman-pengalaman baru baik pengetahuan maupun ketrampilan.
Hal ini merupakan gerakan dua arah, yaitu gerakan profesional dari guru dan gerakan emosional dari siswa. Apabila yang bergerak hanya satu pihak tentu tidak akan berhasil, yang dalam istilah sehari-hari disebut bertepuk sebelah tangan. Sehebat-hebatnya potensi guru selagi tidak direspons positif oleh siswa, pasti tidak berarti apa-apa. Jadi gerakan dua arah dalam mensukseskan pembelajaran antara guru dan siswa itu sebagai gerakan sinergis.
Bagi guru yang profesioanl, dia harus memiliki kriteria-kriteria tertentu yang positif. Gilbert H. Hunt menyatakan bahwa guru yang baik itu harus memenuhi tujuh kriteria:
1. Sifat positif dalam membimbing siswa
2. Pengetahuan yang mamadai dalam mata pelajaran yang dibina
3. Mampu menyampaikan materi pelajaran secara lengkap
4. Mampu menguasai metodologi pembelajaran
5. Mampu memberikan harapan riil terhadap siswa
6. Mampu mereaksi kebutuhan siswa
7. Mampu menguasi manajemen kelas
Disamping itu ada satu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi guru yang profesional yaitu kondisi nyaman lingkungan belajar yang baik secara fisik maupun psikis. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 2 bagian 2 di muka menyebut dengan istilah menyenangkan.
Demikian juga E. Mulyasa menegaskan, bahwa tugas guru yang paling utama adalah bagaimana mengkondisikan lingkungan belajar yang menyenangkan, agar dapat membangkitkan rasa ingin tahu semua peserta didik sehingga timbul minat dan nafsunya untuk belajar.
Adapun Bobbi Deporter dan Mike Hernachi menyarankan agar memasukkan musik dan estetika dalam pengalaman belajar siswa. karena musik berhubungan dan mempengaruhi kondisi fisiologis siswa yang diiringi musik membuat pikiran selalu siap dan mampu berkonsentrasi. dalam situasi otak kiri sedang bekerja, masuk akan membangkitkan reaksi otak kanan yang intuitif dan kreatif sehingga masukannya dapat dipadukan dengan keseluruhan proses
Terkait dengan suasana yang nyaman ini, perlu dipikirkan oleh guru yang profesional yaitu menciptakan situasi pembelajaran yang bisa menumbuhkan kesan hiburan. Mungkin semua siswa menyukai hiburan, tetapi mayoritas mereka jenuh dengan belajar. Bagi mereka belajar adalah membosankan, menjenuhkan, dan di dalam kelas seperti di dalam penjara. Dari evaluasi yang didasarkan pada pengamatan ini, maka sangat dibutuhkan adanya proses pembelajaran yang bernuansa menghibur. Nuansa pembelajaran ini menjadi “pekerjaan rumah”bagi para guru khususnya guru yang profesional. Semoga kita mampu menjadi guru yang professional.







DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Sudrajat, M.Pd. Dalam berbagai Artikel,
Al-Kailani, Majid ‘Arsan. T.th. Al-Fikri al-Tarbawi inda Ibn Taimiyah. Madinah al-Munawwarah: Maktabah Dar al-Turas.
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah ,Al-Tarbiyah al-Islamiyah, T.t: t.pn, t.t
-------, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, Mesir: Isa al-Babi al-halabi, 1975
Al- Ainain, Abu Khalil Abu 1980, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur'an al-Karim, T.t: Dar al- Fikr al-Arabi
Arief, Armai. 2005. Reformulasi pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press,
Azra, Azyumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi.Jakarta: Kompas.
Bocock, Jean dan David Watson (ed). 1994. Managing University Curriculum Making Common Cause, Buckingham: SRHE and Open University Press.
Bacal, Robert. 2001. Performance Management. Terj.Surya Darma dan Yanuar Irawan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Boyd, Ronald T. C. 1989. Improving Teacher Evaluations; Practical Assessment, Research& Evaluation”. ERIC Digest. .
Bobbi Deporter dan Mieke Hernachi, 2002Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Bandung:Kaifa,
Campbell-Evan. 1993. “A Values Perspective on Based-Management”, Dalam C. Dimmoc, (ed). 1993. School Based Management and School Effectiveness, London: Routledge.
Candoli. 1995. Site-Based Management in Education:How to Make It Work in Your School. Lancaster: Technomic Publishing Co.
Danim, Sudarwan. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara.
Donald P. Kauchos\ck And Paul D. Eggen , 1998 Learning And Teaching Research Basid Methods,(Baston: Allya And Baron,
Dede Rosyada, 2004, Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidika, Jakarta: Prenada Media,
Djohar, 2003, Pendidikan Strategik Alternatif Untuk Pendidikan Masa Depan ,Yogyakarta:LESFI,
E. Mulwoso, 2002, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsp, Karakteristik dan Implementas, Bandug: PT Remaja Rosdakarya,
E. Mulyasa. 2002 Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi, dan Implementasi. Jakarta: Remaja Rosdakarya.
Fadjar, A. Malik. 2002. Kata Pengantar dalam Ibtisam Abu Duhou. 2002. School-Based
Management. Penerjemah Noryamin Aini, dkk. Jakarta: Logos
Ibtisam Abu Duhou. 2002. School-Based Management. Penerjemah Noryamin Aini, dkk. Jakarta: Logos.
Fattah, Nanang. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Andira.
Fattah Nanang. DR, 1996, Landasan Manajemen Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung
Gilbert H. Hunt, Et Al. 1999, Efectie Teaching, Preparation And Implementation, Illnois: Charless C. Thomas Publiesher
H. A. R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta,
Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi (ed.). 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
James M. Kouzes; Barry Z. Posner, 1999, The Leadership Challenge Terjemahan : Anton Adiwiyoto. Batam: Interaksara.
Jerry Aldridge And Renetta Soldman, 2002, Current Issues And Trends In Education, (Boston, USA: Allya And Baron,
Kydd, Crawford dan Riches. 2004. Propesional Development for Educational Management. Jakarta: Grasindo.
Koswara,E.dkk.1998. Dinamika Informasi dalam Era Global. Bandung. Remaja Rosdakarya.
M. Arifin, 1991, Kapita Selekta Pendidikan(Islam dan Umum),(Jakarta: Bumi Aksara,
Maswan dan Sulaiman Sahlan, 2004, Multidimensi Sumber Kreativitas Manusia, Bandung: Sinar Baru
Maswan, dkk, 2009, Peran Orang Tua Dalam Memotivasi Belajar Anak, Jepara; Karsa Manunggal Indonesia
Mustafa, Prinsip – prinsip Manajemen Pendidikan,
--------------, Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan,
Maginn, Michael D. 2005. Managing in Times of Change. Jakarta: Buana Ilmu Populer.
Mahfuz, Syekh Ali. 1958. Hidayat al-Musyidin, Kairo: al-Matba’at al-Usmaniyyah al-Misiyyah.
Miarso, Yusufhadi. 2005. “Perubahan Paradigma Pendidikan Peran Tekhnologi Pendidikan dalam Penyampaian Misi dan Informasi Pendidikan”, dalam Menyemai Benih Tekhnologi
Pendidikan. Jakarta: Kencana
Mska Masstlon, 1972, Tracking from Command to Discovery, (California; Wadsworth Publishing Company,
Ngalim, Purwanto, Drs.M, 1987, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,
Noho, Mubin. 2006. ”Implementasi Model manajemen Pendidikan di Madrasah dalam Era Otonomi Sekolah” dalam Jurnal Foramadiahi, Vol.2 No. 1 Juni, 2006.
Paulo Freire, 2002, Politik Pendidikan dan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar dengan ead,
S. Nasution, 1999, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara,
Sodiq. A Kuntoro, 1985, Dimensi Manusia dalam Pemikiran Indonesia, Yogyakarta: CV Bur Cahaya
Siahaan, Amiruddin, dkk. 2006. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah. Jakarta: Quantum Teaching.
Sidi, Indra Djati. 2001. Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan).
Jakarta: Paramadina,
----------------.2000. ”Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan”, Makalah. Bandung: PPs UPI
Suwito. 2002. Pendidikan Yang Memberdayakan. Pidato pengukuhan Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tanggal 3 Januari 2002,
Suyanto. 2006. Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Oercaturan Dunia Global). Jakarta: PSAP Muhammadiyah.
Smith, A.M.; Owen, A; dan Reece, M (editors). 1995. The internet Unleashed 1996. Samnet
Publications, Indianapolis, IN. (Terutama Part VIII: Using the Internet : Libraries).
Seeker, Karen R. dan Joe B. Wilson. 2000. Planning Succesful Employee Performance (terj. Ramelan). Jakarta : PPM.
Sutarto, 1991, Dasar – dasar Kepemimpinan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Sudarwan Danim, 2003, Agenda Pemabruan Sistem Pendidikan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Terry. R. George, 1986, Asas – asas Manajemen, Alumni, Bandung
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Ttp: Pustaka Widyatama, Tt),
Wadjosumidjo, 2002., Kepemimpinan Kepala Sekolah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.















PROFIL PENULIS

Maswan, lahir di Kota Ukir Jepara, tanggal 21 April 1960. Desa Sekuro Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara, sebagai tempat kelahiran. Ia anak ke-3 dari tiga belas saudaranya, dari keturunan Bpk H. Irham dan Hj. Asiyah, yang sekarang bertempat tinggal di Desa Jerukwangi Kecamatan Bangsri Kabupeten Jepara.
Proses panjang jenjang pendidikan yang pernah dilalui, mulai TK (1967), SDN Sekuro tamat (1973), PGAP MH Mlonggo (1977), PGAN Kudus tamat (1979/80), IKIP Negeri Malang (sekarang Universitan Negeri Malang) program S1 Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) tamat 1985. dan S2 Magister Manajemen STIE AUB Surakarta tahun 2009
Setelah menyelesaikan S1 tahun 1985 dari IKIP Malang, kini tetap istiqomah menjadi guru swasta. Sambil wiraswasta membuka perusahaan meubel,. Mengabdi menjadi guru di Madrasah Aliyah (MA) Matholibul Huda (MH) Mlonggo dan Dosen Di Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan (PD III) di Fakultas Tarbiyah.
Perjalanan panjang juga pernah dilakukan dalam pengabdiannya di organisasi sosial dan keagamaan, Ketua RW, Ketua BPD di Desa Jerukwangi. Pernah menjadi pengurus Ansor, NU, Lembaga Pendidikan Ma’arif, Pengurus Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) kab Jepara, Pengurus Persatuan Guru Karyawan Swasta Indonesia (PGKSI) Jepara dll. serta pernah menjadi guru di beberapa sekolah swasta di anataranya adalah di MTs MH Mlonggo, SMA Bhakti Praja Bangsri, SMA Bhakti Praja Mlonggo, dan SMP Ma’arif Bangsri sebagai Kepala Sekolah.
Pengalaman dalam bidang penulisan ditekuni sejak mahasiswa di Malang, pernah menjadi wartawan Kampus surat kabar KOMUNIKASI IKIP Malang, menjadi ketua Bidang Pers Mahassiwa Himpunan Mahasiswa Penulis (HMP) IKIP Malang. Tulisan-tulisan dalam bentuk artikel, esai, resensi buku pernah dimuat di surat kabar dan majalah, pernah nulis di SUARA INDONESIA Malang, WARTA MAHASISWA Dikti Jakarta, WAWASAN, BAHARI, KARTIKA Semrang, KEDAULATAN RAKYAT Yogyakarta, FEMINA Jakarta, dll.
Selain menulis dibidang jurnalistik, juga menulis beberapa buku, antara lain:
1. Jalan Setapak Menuju Masyarakat Kerja, diterbitkan di LP2MP Malang
2. Multidimensi sumber Kreatifitas Manusia, diterbitkan di SINAR BARU Bandung
3. Mengungkap Tabir Imajinasi Manusia, diterbitkan di SINAR BARU Bandung
4. Cara Praktis menulis Huruf, diterbitkan TIGA SERANGKAI Solo
5. SENI RUPA untuk SMA Jilid I dan II, diterbitkan TIGA SERANGKAI Solo
6. Berani Memulai MENULIS BUKU, diterbitkan KARSA MANUNGGAL Indonesia Jepara
7. Pesan dan Kesan KADO PERNIKAHAN, diterbitkan KARSA MANUNGGAL Indonesia Jepara
8. Memutus Lingkaran Setan KEMISKINAN, Kia Sukses Kuliah sambil Bekerja, diterbitkan KARSA MANUNGGAL Indonesia Jepara
9. Pendidikan KEADMINISTRASIAN untuk IPNU-IPPNU diterbitkan KARSA MANUNGGAL Indonesia Jepara
10. Meteri Pembelajaran BAHASA DAN SASTRA INDONESIA untuk MA/SMA, diterbitkan KARSA MANUGGAL Indonesia Jepara
11. BIMBINGAN DAN KONSELING, diterbitkan KARSA MANUNGGAL Indonesi Jepara
12. Peran Orang Tua dalam MEMOTIVASI BELAJAR ANAK, diterbitkan KARSA MANUNGGAL Indonesia Jepara
13. TEKNOLOGI PENDIDIKAN, diterbitkan KARSA MANUNGGAL Indonesia Jepara
Selain sebgai penulis, aktif diberbagai kegiatan organisasi sosialp-keagamaan, baik pada waktu mahasiswa maupun setelah lulus.



Drs. H. Sugiwanto, MM, lahir di Jepara, tanggal 12 Agustus 1958. Tepatnya di Desa Suwawal Kecamatan Mlonggo Kabupaten.
Proses panjang pendidikan yang dilaluinya mulai SDN Suwawal diselesaikan tahun 1971, dan sekolah lagi di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Mambak ditempuh 2 tahun. Setamat dari MI baru melanjutkan ke PGAP tahun 1973 Mathalibul Huda Mlonggo dan tamat tahun 1977. Kemudian ke PGAA Negeri Kudus tamat tahun 1979/1980, lalu ke IKIP Negeri Malang program S1 Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) tamat tahun 1985, dan Program Pasca Sarjana (S2) di STIE AUB Surakarta tahun 2009. Jabatan yang sekarang dipegang sebagai Kepala MA MH Mlonggo, dan juga sebagai Dosen di Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara. Read More...
banner125125 banner125125 banner125125 ads_box ads_box ads_box
 

Followers